Mohon tunggu...
Lena Hanifah
Lena Hanifah Mohon Tunggu... profesional -

mencintai buku dan anak-anak setengah mati.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pertempuran Aturan di Atas Tubuh Perempuan

3 November 2016   13:33 Diperbarui: 4 November 2016   12:24 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: baranews.com

Atau

Makanya, jangan pakai celana pendek.”

Padahal korban adalah remaja yang baru pulang sekolah dan masih mengenakan seragam. Tidak ada sedikit pun ia memiliki andil dalam menyebabkan terjadinya perkosaan tersebut.

Kedua, pemberian stigma buruk terhadap korban akan berakibat pada semakin tumbuh suburnya kekerasan seksual itu sendiri. Ketakutan untuk menjadi korban kekerasan berulang sebagaimana disebutkan sebelumnya membuat korban (dan keluarga) lalu memilih untuk tidak membawa kejadian tersebut ke jalur hukum, dan pada gilirannya membuat pelaku merasa leluasa untuk kembali melakukan aksinya. Lebih jauh lagi, menurut Chopra, jikapun pada akhirnya korban berhasil memperoleh keadilan di pengadilan, ia tetap harus menghadapi kenyataan bahwa stigma buruk masyarakat akan tetap menempel padanya. (Chopra and Isser, 2012) .

Keadaan sedemikian tentu memperburuk upaya rehabilitasi korban, dan dalam lingkup yang lebih besar, menjadikan upaya penanggulangan kekerasan seksual menjadi sia-sia, dan lebih parah lagi, menjadikan legitimasi patriarkal semakin merajalela. Pemerintah berkewajiban membuat norma hukum yang applicable dan pada saat yang bersamaan, efektif untuk mencegah timbulnya tindak kekerasan seksual, bukan malah melakukan viktimisasi. Yang terpenting, jangan menciptakan ruang bagi pelaku untuk merasa bahwa apa yang ia lakukan mendapat pembenaran, dan pada gilirannya menciptakan pelaku-pelaku kekerasan seksual baru. Masyarakat haruslah bekerjasama melakukan perlindungan terhadap anak, perempuan dan atau siapapun yang menjadi korban, dan itu harus dimulai sejak dini.

Bagaimana caranya?
Pendidikan adalah salah satu jawaban. Alih-alih sekadar sibuk memberi peringatan tentang moral perempuan (sementara mengabaikan moral sendiri), kenapa tidak melakukan pendidikan sejak dini terhadap laki-laki untuk menanamkan penghormatan terhadap harkat martabat orang lain, dan pengenalan serta pengelolaan hasrat seksual? (Wattimena, 2016) Pelaku kekerasan seksual sebagian besar/mayoritas adalah laki-laki, dan sangat sedikit ditemukan pelaku perempuan.

Dari dini anak lelaki haruslah diajari bahwa menggoda perempuan lewat dengan bersiul (catcalling) adalah salah, bahwa mencolek teman perempuan sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman adalah salah, dan seterusnya. Seringkali kita melakukan pembiaran terhadap tingkah laku mereka dengan menjawab bahwa 'namanya juga anak lelaki....', tanpa menyadari bahwa itu adalah bentuk pembiaran yang pada akhirnya, menciptakan pelaku-pelaku kekerasan seksual baru. Sebagai penutup, mantan Perdana Menteri Israel tahun 1969 -1973, Golda Meir, pernah meminta untuk memberlakukan aturan unik untuk menekan angka perkosaan di negerinya. Alih-alih menimpakan kesalahan pada tubuh badan perempuan, ia malah memerintahkan agar jam malam diberlakukan untuk laki-laki agar tidak berkeliaran dan supaya laki-laki tersebut tidak melakukan kejahatan terhadap perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun