Mohon tunggu...
Lena Astari
Lena Astari Mohon Tunggu... Jurnalis - Editor Assistant

Currently working as an editor assistant

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Ternyata Cuma Ini Solusi Anak GTM yang Paling Manjur

27 Juni 2024   09:37 Diperbarui: 27 Juni 2024   18:45 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir sebulan saya dibuat pusing dengan anak perempuan saya yang berusia 11 bulan karena dia mendadak GTM alias Gerakan Tutup Mulut.

Semua bermula ketika saya, anak, dan suami berlibur ke Bandung selama 3 hari. Selama 3 hari pula dia menolak makan apapun dan hanya terus-terusan minta nenen alias ASI. 

Saya pusing bukan kepalang. Liburan yang harusnya dinikmati, malah bikin otak saya berputar terus-terusan, memikirkan makanan apa yang akan dimakan anak saya? Semua jenis makanan sudah dicoba, mulai dari bubur yang disediakan saat breakfast di hotel, makanan restoran, sampai bubur fortif, semuanya ditolak.

Kepusingan saya berlanjut karena atas izin Tuhan saya terkena dampak pengurangan karyawan di kantor. Saya sudah ketar-ketir karena anak saya menolak makan sama saya dan hanya mau makan dengan neneknya. Sementara kalau saya dirumahkan, sudah pasti dia akan saya pegang 24/7.

Ketakutan saya terbukti. Minggu pertama saya di rumah, anak saya hanya kembali tidak mau makan sesuap pun sama saya. Keadaan makin diperparah dengan kesabaran saya yang setipis tisu dibelah 2 dan tak jarang saya bentak atau cubit karena dia benar-benar tidak mau makan meski sudah sambil digendong keliling lingkungan rumah. Alhasil, anak jadi makin mingkem dan tidak mau makan sama saya.

Sadar tidak bisa begini terus, saya cari-cari ibu yang senasib dengan saya di TikTok. Iya, TikTok. Soalnya saya sudah ke DSA dan kurang mendapat jawaban. Saat itu juga satu-satunya yang terpikirkan oleh saya untuk cari jawaban adalah TikTok. 

Benar saja, setelah cari cara solusi anak GTM, algoritma FYP saya penuh dengan ibu-ibu yang mengalami hal serupa. Ada 2 akun yang menarik, dan semuanya melakukan reset week sebagai solusinya.

Secara harfiah, reset week adalah cara untuk mengatasi anak yang susah makan dengan menerapkan beberapa peraturan. Nah, peraturan ini lah yang bisa jadi cocok-cocokan dengan orangtua lainnya. Intinya, reset week ini dilakukan untuk membetulkan pola makan anak serta membangun bonding dengan orangtua yang sempat hilang.

Saya pikir-pikir, sepertinya cara ini cocok dengan saya. Soalnya saya sempat 'absen' saat jam makannya karena bekerja dan dia lebih paham makan dengan neneknya daripada saya. 

Sekarang setelah saya di rumah, pasti dia butuh membangun kepercayaan lagi dengan saya, apalagi saya sempat marah dan kasar karena dia tidak mau makan. Tangki cinta anak terhadap saya soal makan nampaknya harus diperbaiki dan dipenuhi lagi.

Sudah seminggu saya menerapkan reset week ini dan hasilnya cukup memuaskan. Meski porsi makanan yang saya ambilkan belum habis, setidaknya anak mau makan dan yang terpenting, mau makan dengan saya.

Ini yang saya lakukan saat reset week:

  • Mengurangi jatah DBF (direct breastfeding)
  • Mengatur jadwal makan anak
  • Mengatur durasi makan anak
  • Tidak memberikan cemilan baik itu snack berupa biskuit, cemilan bayi, dan lain-lain

Sebenarnya, aturan makan lain yang harus diterapkan adalah makan di high chair dan tidak sambil nonton TV. Namun untuk yang satu itu saya masih belum menerapkan dengan baik dan benar. 

Pasalnya, saat diasuh neneknya anak saya memiliki kebiasaan makan sambil digendong. Nah, satu-satunya cara supaya anak saya duduk dengan tenang saat makan adalah sambil nonton iklan di TV. Jadi saya masih menggunakan 2 cara itu saat anak makan. Kalau sudah tidak bisa diam di depan TV, maka saat makan akan saya gendong.

Kenapa tidak dibiarkan makan sendiri? Anak saya belum terlalu lihai memegang makanan dan jika dimakan, hanya dimakan sedikit, lalu sudah bosan dan ditinggalkan. Saya tetap berikan finger food jika ada, namun bukan jadi makanan utama dan lebih banyak saya berikan setelah makan utama.

Untuk DBF, saya jadi paham alasan lain kenapa anak tidak mau makan sama saya. Bisa jadi, ketika bersama saya, anak berpikir kalau lapar, ya tinggal datang ke ibu saja. Toh bisa DBF sesuka hati. Alhasil yang biasanya saya akan berikan tiap dia meminta, saya hanya berikan pada siang hari setelah makan siang dan malam saat mau tidur. Kalau dia menangis saat bukan jamnya nenen, maka saya akan bilang kalau bukan waktunya dan kemudian saya alihkan perhatiannya.

Gimana kalau dia tetap tidak mau makan dan tetap minta nen? Kalau berat badannya turun gimana?

Ya kalau tidak mau makan hasilnya lapar. Kalau belum jamnya nenen ya tidak nenen. Jadi hanya bisa minum air putih. Sekilas terdengar jahat ya, membiarkan anak kita lapar. Tapi justru di situ gunanya reset week; memperkenalkan rasa lapar. Lapar itu makan, bukan nenen. Kalau jamnya makan ya makan, kalau jamnya nenen ya akan diberikan. 

Saya tutup mata dulu dengan berat badan anak selama reset week. Kalau pun saatnya ke posyandu atau dokter, ya terima saja berapapun berat badannya. Kalau turun, ya memang karena sedang diperbaiki pola makannya. Kalau stabil ya syukur, apalagi kalau sampai naik.

Oh iya, sebagai catatan, saya tinggal dengan orangtua saya, yang mana pasti kebanyakan jadi batu sandungan kalau mau menerapkan hal ini pada anak. Orangtua saya juga pasti langsung minta saya 'ngalah' kalau anak sudah nangis karena tidak diberikan nen atau memberikan cemilan yang saya larang. Tapi saya tetap bersikap tegas, kalau kecolongan diberikan cemilan apapun, ya sudah, artinya besok saya harus lebih cermat lagi dalam menjaga anak. Saya juga tegaskan ke orangtua kalau saya sedang melakukan peraturan ini pada anak supaya mau makan.

Semoga pengalaman saya ini bisa berguna bagi orangtua yang sedang mengalami hal serupa. Dalam prosesnya, yang perlu diingat adalah tidak berekspektasi dan tetap sabar. Memang sangat susah. Apalagi saya sukanya overthinking dan tidak sabaran. Namun percayalah, anak betul-betul jadi malaikat yang membuat kita jadi pribadi yang lebih baik jika ditangani dengan mindset yang positif. 

Satu hal yang perlu diingat, kita tidak sendiri. Ada banyak orangtua di luar sana yang mengalami hal serupa. Jika ada pertanyaan lebih lanjut atau sekadar mau curhat, boleh langsung tulis di kolom komentar ya!

Semangat para orangtua di luar sana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun