Hal ini juga seperti yang dialami pada zaman Nabi Muhammad saw. Saat itu, beliau dituduh sebagai tukang sihir yang sangat berbahaya bagi masyarakat. Setiap ada tokoh dari luar Makkah yang berhaji selalu ditakut-takuti oleh tokoh-tokoh Makkah agar tidak berbicara dengan Nabi Muhammad saw, karena itu sangat berbahaya. Tanpa disadari oleh tokoh-tokoh Makkah saat itu, bahwa tindakannya ini justru menyebarkan berita tentang Rasulullah saw dan dakwahnya.
Seandainya mereka tidak menyebarkannya, mungkin tokoh-tokoh luar Makkah tidak mengenal dan tidak tertarik dengan Nabi Muhammad saw, tetapi karena mereka ditakut-takuti tentang Nabi Muhhamd saw, justru membuat orang-orang yang cerdas ingin mengetahui masalah yang sebenarnya. Diantaranya adalah seorang tokoh bernama Thufail ibnu Amr ad-Dausy. Thufail menirukan ucapan tokoh-tokoh Makkah, “Ya Thufail, engkau telah datang ke negeri kami. Ada seorang laki-laki yang menyatakan dirinya sebagai seorang Nabi. Ia telah membuat kami semua susah dan memecah belah masyarakat kami.
Kami amat takut jika hal ini terjadi di kaummu sebagaimana yang kami alami sekarang. Maka, janganlah engkau pernah berbicara dengannya. Janganlah engkau dengarkan perkataannya. Sesungguhnya ia memiliki ucapan seperti sihir yang dapat memisahkan antara seoang anak dengan bapaknya. Antara saudara dengan saudaranya yang lain. Antara seorang istri dengan suaminya”. Sebagai seorang manusia biasa, beliau sempat terhasud dengan fitnah dari tokoh-tokoh Makkah dan beliau menutup telinganya dengan kapas agar tidak mendengar ucapan Nabi Muhammad saw.
Namun saat beliau melihat Rasulullah saw, akhirnya beliau justru tertarik ingin mendengarnya. Beliau berkata kepada dirinya sendiri: “Engkau adalah seorang penyair yang pintar dan cerdas. Mengapa engkau tidak dapat membedakan yang jelek dan yang baik. Apa yang mengahalangimu mendengarkan perkataannya? Jika yang dibawanya itu kebaikan hendaklah engaku terima, dan jika jelek engkau tinggalkan”. (Lihat kisah lengkapnya dalam kitab Shuwarun Min Hayati Ash-Shohabah) Akhirnya beliau justru yang mengajak bicara Rasulullah saw lebih dahulu karena sangat penasaran dengan berbagai ejekan dan fitnah yang disampaikan oleh para tokoh Makkah kepada beliau. Akhirnya, seperti yang dikatakan oleh tokoh-tokoh Makkah, beliau terkena “sihir” dan masuk Islam.
Jadi, berbagai ejekan, hinaan, hujatan, dan berbagai fitnah terhadap dakwah, justru menambah semakin berkembangnya dakwah dan membuat masyarakat semakin penasaran tentang dakwah.
Kelima, menjadikan kami banyak belajar dan terus melakukan kajian. Terus terang, kami bukan orang hebat dengan ilmu yang mumpuni. Memang, diantara kami ada ulama yang memiliki ilmu lebih dibanding yang lain, namun sebagian dari kami adalah masyarakat biasa seperti pada umumnya. Karena itu, kami terus belajar apapun yang bisa kami pelajari. Setiap saat kami selalu belajar, baik di dalam halaqoh maupun di luar halaqoh. Sebagai orang yang belajar, terkadang kami kurang perhatian atau kurang memahami ilmu-ilmu Islam yang memang sangat luas.
Namun, dengan berbagai pertanyaan yang menyudutkan, hinaan, atau beberapa berupa fitnah, membuat kami semakin banyak belajar dan semakin perhatian dalam belajar. Seandainya kami tidak dituduh sebagai “menolak hadits ahad”, mungkin kami hanya belajar ilmu hadits ala kadarnya. Hanya mendengarkan para ustadz sambil mengantuk atau sambil santai-santai. Namun, karena banyaknya tuduhan tersebut, kami harus banyak belajar, dan mengkaji berbagai kitab dari para ulama yang mu’tabaroh.
Akhirnya, kami terdorong untuk mengkaji sedalam-dalamnya, dan bertanya kepada para ustadz sedetil-detilnya. Seandainya tidak ada orang yang menuduh bahwa Khilafah hanyalah khayalan Syeikh Taqiyuddin dan tidak ada ulama yang mengatakannya, mungkin kami hanya mencukupkan mengkaji kitab-kitabnya Syeikh Taqiyuddin. Namun, alhamdulillah banyak sekali tuduhan dan ejekan tentang Khilafah, sehingga kami harus banyak mengkaji dan menelusurinya dari kitab-kitab para ulama. Akhirnya kami menjadi sangat terbiasa dan familier dengan kitab-kitab para ulama madzhab dan ulama mu’tabroh yang lain. Kalau sebelumnya, kitab-kitab tersebut hanya untuk sekedar dimiliki, sekarang kitab-kitab tersebut harus kami kaji dengan seksama. Seandainya tidak ada yang menuduh bahwa HT mengajarkan sembrono dalam ijtihad, maka mungkin kami hanya mengkaji kitab-kitab ushul fiqih ala kadarnya.
Namun, alhamdulillah, banyaknya tuduhan tersebut membuat kami harus belajar tentang masalah itu sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin. Dan masih ada ratusan atau mungkin bahkan ribuan tuduhan, hinaan dan sebagian lagi fitnah yang lain. Alhamdulillah semua itu membuat kami harus terus belajar dan mengkaji untuk memahami hakikat yang sebenarnya. Jadi, setiap tuduhan, hinaan, fitnahan atau apapun hanya kami maknai sebagai “motivasi untuk terus mengkaji dan mengkaji lagi”. Oleh karena itu, kami ucapkan terima kasih atas motivasi yang sangat mujarab tersebut.
Keenam, menjadikan kami semakin kreatif.
Harus diakui bahwa adanya berbagai tuduhan, ejekan, hinaan dan berbagai fitnah membunuh kami semua semakin kreatif dalam berdakwah. Sekedar contoh, karena adanya berbagai hinaan dan fitnah itu, kemudian muncul berbagai tulisan dan buku sebagai responnya. Tulisan ini misalnya, tidak akan pernah ada seandainya tidak ada berbagai ejekan, hinaan dan berbagai fitnah tersebut. Semakin dihina dan difitnah, maka dakwah akan semakin kreatif. Ibaratnya setiap ada aksi pasti ada reaksi. Karena itu setiap ada pertanyaan, membuat kami hari berusaha untuk membrikan jawaban.