Dua pekan terakhir hampir berlalu di September yang ikonnya ceria. Terkhusus bagi bangsa ini, setiap lingkar bulan di 2018 ini terasa begitu tak pernah purnama (sempurna).
Jalan di tahun politik ini terjal dan berbatu. Roda pedati dari kayu harus berpengalaman signifikan dengan keahlian sang sais si pengemudi.
Pancasila adalah model rules playnya, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah guidebook bagi penggunanya.
Barangsiapa warga negara yang kafir (ingkar) dan menjadi kufur (penista) kepada salah satunya, maka sesungguhnya dapat diketahui siapa pengkhianat sebenarnya dan pemecah-belah bangsa sesungguhnya.Â
Budayawan sekaligus narasumber di acara talkshow ILC tvOne (18/9), Sujiwo Tejo, mengungkapkan perasaan takutnya saat mendengar suara takbir.Â
Mendalang Narrative Text
Saat sesi terakhir ILC dengan tema Ijtima' Ulama II, Karni Ilyas selaku pembawa acara mempersilahkan narasumber penutup di area kursi penonton yaitu Sujiwo Tejo untuk berbicara dan sekaligus clossing statement.
Setelah beberapa saat menyampaikan narasi opening statement, tiba-tiba arah pembicaraan S. Tejo (Sujiwo Tejo) menyerempet ke jalan dakwah (kalimat takbir).
Sambil menunjuk ke arah Ust. Haikal Hasan, S. Tejo meminta dengan petunjuk tangan kepada Ust. Haikal agar ustad bisa langsung merespon pernyatannya. Namun ketika kamera belum mengarah ke Ust. Haikal, Karni Ilyas pun dengan cepat menyela penjelasan S. Tejo.Â
Sebelumnya, budayawan nyentrik ini entah sengaja atau tidak sudah berhasil membingungkan penonton dengan cara mengaburkan terminologi kata ulama yang dianalogikan rancu sehingga analis kimia pun dia asumsikan sebagai ulama.
Predikat ulama bagi S. Tejo, mulai dari orang yang tidak alim (bejat) sampai kepada keulamaan majelis ulama pun harus sesuai argumentasi ulama versinya, kata pemilik akal pegiat seni ini.
Narasi Teks Mendulang 'Ulama'Â
Deskripsi dalang wayang panjang kali lebar yang disampaikan S. Tejo tentang hakikat ulama menurut interpretasi budaya liberalnya, mengisyaratkan konklusi bahwa ulama itu tergantung perbuatannya (bukan dakwahnya).Â
Pendapat bebas S. Tejo ini sangat berbahaya dan berakibat fatal bagi ruang publik pengetahuan agama orang lain. Jika yang dia maksud adalah siapa saja yang berbuat baik, tidak tergantung profesi dan latar belakang keilmuan agama, maka asumsi S. Tejo sangat dangkal dan menyesatkan.Â
Bagi orang yang tidak alim misalnya (kriminal atau koruptor) tetapi karena gengsi profesi dan masih bisa membuat seorang S. Tejo terpukau, terenyuh, simpati dan sevisioner dengannya, maka secara otomatis orang tersebut layak menyandang pangkat ulama, menurut Tejo yang juga pawang wayang dan aktor film ini.
Sayangnya pada akhir sesi acara malam itu, Ustd. Haikal terlihat sama sekali tidak berminat menanggapi buah pikiran nyeleneh dari tumbangnya pohon akal busuk dari logika S. Tejo.
Merasa paling berbudaya di atas awan, S. Tejo kemudian melanjutkan fantasinya tentang pencitraan buruk kepada perihal doktrin agama.Â
Narasi Teks Ulama Yang Jadi Nasi Goreng
S. Tejo melanjutkan pemahaman sekulernya dengan mengandalkan contoh penjual nasi goreng di Surabaya yang judesnya minta ampun.Â
S. Tejo sengaja menggoreng logika formal pemirsa ILC malam itu bahwa ilmu pengetahuan sama sekali tidak berperan (useless) karena contoh penjual nasi goreng yang setiap saat melayani pembeli dengan sikap judes (amoral) namun dagangannya laku dan banyak pengunjung.
Kemudian S. Tejo memberi kesimpulan bahwa karakter penjual nasi goreng yang seperti itu pasti ada kiyai atau ulama behind the unethical scanes. Yang mengindikasikan jika kiyai atau ulamanya penjual nasi goreng yang betul dan ulama seperti itulah yang diperlukan saat ini.
Di bagian inilah letak narasi S. Tejo yang menghina ulama dengan semangat menyesatkan kapasitas ulama. Ulama menurut konsep S. Tejo tidak ada bedanya dengan dukun, ahli nujum atau pun paranormal.
Tidak cukup sampai di sini S. Tejo mengumbar silently humiliation, menghina ulama di hadapan publik. Peran ulama yang diinginkan Presiden Republik Jancukers ini adalah ulama yang bahkan punya kuasa untuk menyeru dan menyuruh orang atau pasangan suami istri untuk bercerai.
S. Tejo lebih konfiden dan tidak sangsi mengatakan bahwa dia sangat ragu dengan ulama-ulama (tabligh) yang berdakwah amar ma'ruf nahi mungkar dapat diikuti oleh ummat dan ulama level itu tidak mempunyai elektabilitas cawapres misalnya.
Ulama Tabligh Disesatkan Oleh Kiyainya Nasi Goreng
Deskripsi singkat menjelang pagi dari lelaki paruh baya bertopi koboi seperti menghipnotis sisi ruangan. Tidak ada yang spontan membantah penjelasan sarat pelecehan tersebut.
Hingga tiba di menit ke 5 (lima) detik ke sebelas (11). S. Tejo mulai mengeluarkan isi hati liberal dan pikiran sekuler aslinya.
Memvonis secara eksplisit kepada Ustd. Haikal dan Yusuf Martak serta jamaahnya yang selalu menyeru kalimat takbir (Allahu Akbar)Â dengan tegas, telah membuat diri Sujiwo Tejo yang mendengarnya merasa ketakutan yang sangat luar biasa.
Penalaran orang banyak yang nantinya sesat dalam dakwaan S. Tejo atas kumandang kalimat takbir oleh Ustd. Haikal dan kawan-kawan (sesama ulama), terindikasi memungkinan tuduhan ini juga beralamat kepada ustad-ustad lain dan ulama-ulama yang bukan kebanggaan dan pilihan hati Sujiwo Tejo (ulama pendukung Prabowo-Sandi).
Perilaku buruk yang eksplisit dan sangat jelas tidak sesuai ilmu pemasaran dianggapnya sah dan normal saja tatkala nasi goreng khas rasa judes ternyata mampu laris ketimbang peran ulama tabligh.Â
S. Tejo pun memuntahkan segenap duka laranya perihal kalimat takbir yang mengusik perasaan dan ketenangan batinnya.
Simak video lengkapnya di https://youtu.be/cSM1TA1vpuY
Meskipun hanya Karni Ilyas yang memvonis orang sebaik Sujiwo Tejo hidupnya setengah kotor, bukan berarti ulama tabligh dan semua ulama di kubu Prabowo-Sandi lebih kotor dari ulama atau kiyainya penjual nasi goreng.Â
Bergelimang Dosakah Dia (Sujiwo Tejo)?Â
Atau seharusnya S. Tejo tidak pantas mendengar seruan takbir dari orang-orang (bukan ulama) dan yang dianggap lebih nista (ulama) darinya?
Jawaban semestinya atas formal liberal logic, persepsi menghina dan interpretasi sesatnya narasi Sujiwo Tejo tentang takbir akan berefek kontra konsepsi dengan pengertian takbir sebagai berikut :
Pertama, kalimat takbir (Allahu Akbar) adalah kalimat dzikir. Dan dzikir ini adalah dzikir yang paling agung di antara Nama-namaNya.Â
Kedua, kalimat takbir (Allahu Akbar) adalah kalimat tauhid bagi muslim yang yakin dan percaya kepada Allah Subhanahu Wata'ala.Â
Ketiga, kalimat takbir (Allahu Akbar) adalah kalimat yang mempunyai arti, fungsi dan kegunaan yang sangat dogmatis.Â
Keempat, kalimat takbir (Allahu Akbar) adalah kalimat awal dan akhir dari hidup dan mati seorang mukmin.Â
Kelima, kalimat takbir (Allahu Akbar) adalah kalimat amalan dalam hidup dan kematian sesudahnya.Â
Keenam, kalimat takbir (Allahu Akbar) adalah kalimat hukum, kalimat indikator, kalimat penegasan, kalimat setuju, kalimat persatuan dan kalimat pengakuan terhadap amar ma'ruf nahi mungkar.Â
Ketujuh, kalimat takbir (Allahu Akbar) adalah kalimat dengan segala manfaat baik bagi muslim dan mukmin. Diantaranya yang terpenting adalah sebagai doa.Â
Itulah beberapa pengertian tentang kalimat takbir (Allahu Akbar) dalam hal ibadah kepada Allah subhanahu wata'ala.Â
Jika ada yang mengaku Muslim, namun merasa risih dengan seruan takbir (Allahu Akbar), maka sudah sepantasnya orang tersebut segera cepat bertaubat nasuha dari segala kerusakan mental dan akidah islamnya.Â
Dan sebaliknya apabila yang mengaku Muslim akan tetapi merasa takut dengan suara dan kalimat takbir (Allahu Akbar), maka seharusnya orang tersebut wajib diobati keadaan lahir batinnya.Â
Setan dan iblis itu suka menggoda alat indra manusia. Mulai dari bersemayan di dalam tubuh (terutama hati) manusia, biji mata manusia, hidung, telinga hingga mulut manusia.Â
Takbir (Allahu Akbar) itu juga berguna untuk mengusir setan. Karena ketika adzan dikumandangkan, para setan beterbangan lari tunggang langgang.
Semoga bukan kita diantaranya yang mengalami kasus (permasalahan keimanan dan akaidah) seperti yang dialami oleh orang sepintar Sujiwo Tejo.Â
Tidak dengan atau tanpa alasan apapun, karena hanya iblislah dan turunannya yang merasa terganggu serta ketakutan saat mendengar lafadh takbir (Allahu Akbar).
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!Â
Sorong, 29 September 2018
*ajilatuconsina
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H