Mengapa fenomena anomali ganti presiden bisa begitu menyinggung akrobatik politik TGB? Lantas offensive behavior (perilaku menyinggung) yang bagaimana sehingga TGB yang selama ini "DIDORONG OPOSISI" oleh partai Demokrat, kini dilematis berhadapan dengan "LOKET KOALISI".
Open statement TGB (Tuan Guru Bajang) yang fenomenal diketahui mewakili sikap pribadi yang memilih sendiri prinsip simalakama. Jika kawan tadi rasional memilih pintu "DORONG" karena "LOKET" semestinya bukan tempat masuk tetapi berfungsi transaksional atas bargaining. Maka koalisi adalah sumber dosa yang secara sengaja menceraikan makna rasionalitas setiap akal sehat dan mental.Â
Toko Obat Koplak 24 Jam seharusnya paham bahwa jika "LOKET" yang lebih fungsional, tentu saja pintu masuk toko tersebut tidak layak dan tidak wajib bertanda "DORONG" ataupun bermaksud "GESER" bahkan bertujuan "TARIK".
Tahun politik (Pilpres 2018-2019) dengan suhu yang memanas ini ditandai oleh cuaca politik dinamis yang juga ekstrim dan dielaborasi dengan siklus elastisitas kepentingan atas nama demokrasi yang anginnya juntrungan tak pernah menentu selama era reformasi ini, turut menghempaskan jauh-jauh logika politik, prinsip demokrasi, tatanan sosial, etika hukum, dan keadaban.
TGB Bukan Lagi Raja, Ataukah Dia Pelayan?Â
Akrobatik TGB di last minutes drama panggung bursa cawapres yang digadang-gadang mewakili dorongan partai berujung blunder (bertepuk sebelah tangan) dan menjadikannya hanya lampiran biasa atau petugas partai.Â
TGB bisa saja bernasib tragis yang sama atau berteman baik dengan kawan pembeli obat tadi yang tak pernah dianggap raja, meskipun obat dapat dibeli melalui "LOKET" yang terbuka tanpa harus melewati pintu "DORONG".
Setiap kita (pelanggan) pasti pernah mengalami kenyataan tidak dilayani dengan pepatah 'pembeli adalah raja'. Terlebih lagi, toko atau tempat berjualan tak terkecuali toko obat telah lama mengalami perkembangan ilmu ekonomi (product layout deviation) tentang penataan area dan produk dalam penjualan.
Tentunya sebagian produsen yang konsen menginginkan kenyamanan bersama. Namun pola tata letak seringkali hanya berdasarkan kepentingan dan kemanfaatan produsen semata. Contohnya adalah kasus tragedi "DORONG" & "LOKET" pada toko obat Koplak 24 Jam.
TGB yang seorang politisi dan nota bene gratisannya dianggap sebagai tokoh ummat yang momentum di serba-serbi tahun politik ini sebaliknya mengaburkan statusnya sebagai raja atau pelayan.Â
Dengan demikian berbeda dengan kawan pembeli obat tadi, TGB menerima saja lapang dada atas pelecehan terhadap hak politik jual-belinya. TGB tidak punya prinsip dan pendirian sehingga dipimpong oleh kepentingan yang jauh lebih kuat dari cita-rasanya.Â