"brak" sebuah buku agenda terjatuh dari tumpukan buku yang berantakan diatas meja.
Sepekan lalu keluarga kami kembali berduka, setelah beberapa tahun lalu berduka karena ditinggal ibu, selanjutnya kami berduka karena ditinggal bapak pula. Hari ini kami tengah mengemasi barang-barang peninggalan bapak, kami keluarkan seluruh isi lemari buku bapak, dan menumpuknya acak diatas meja. Mencoba memisahkan buku-buku yang akan tetap disimpan dan yang akan kami donasikan, tapi buku bapak rata-rata adalah buku ensiklopedia islam dan buku terjemahan kitab-kitab gundul, kami pun tentu suatu saat mungkin membutuhkannya.
Ketika buku agenda itu terjatuh dari tumpukan, yang lain tengah sibuk mempersiapkan kardus-kardus untuk membawa buku yang akan kami donasikan, dan akulah yang melihat buku agenda itu terjatuh. Buku agendanya berukuran A5 dengan sampul berbahan kulit yang sudah retak-retak dan mengelupas, di sampulnya tertulis besar 'buku agenda' dan tulisannya sudah hampir hilang, bukunya sangat berdebu dan kertas-kertasnya juga sudah sangat usang.
Pada halaman pertama buku agenda itu tertulis nama bapak, nama ibu, dan tanggal pernikahan mereka, manis sekali bukan mendiang bapakku ini. pada halaman-halaman berikutnya tertulis jeritan-jeritan dan rintihan-rintihan penderitaan. Padahal hanya tulisan, namun jeritan, rintihan, dan tangisan-tangisan lirihnya terdengar begitu nyata di telinga. Dari berpuluh-puluh halaman, ada satu halaman yang isinya benar-benar mencuri penuh atensiku dalam sekali baca, kata-katanya terus berputar-putar dalam kepalaku.
"Dek, buku apa itu? buku bapak atau buku adek?"Â
Yang bertanya adalah kakak perempuan tertua, yang paling bijaksana.
"Buku adek, terlupa jadwal zoom malam hari ini"
Kusimpan dahulu buku agenda itu kedalam tasku supaya bisa terus membacanya nanti, lantas aku bergabung dengan yang lain untuk menata ulang buku yang tidak akan kami donasikan.
Kami baru kembali ke kamar masing-masing setelah hampir 3 jam mengemasi barang-barang bapak. hari pun sudah beranjak gelap, ditambah mendung dan rintik-rintik hujan akhir September.
Selepas zoom meeting aku mulai membolak-balikkan lembar kertas buku agenda mendiang bapakku, mencoba mencari halaman yang tadi sempat mencuri perhatianku. Tidak sampai menemukan halamannya, terjatuhlah secarik kertas dari buku agenda itu. Kertasnya seperti sengaja dirobek, karena garis robekannya benar-benar tidak alami, terlihat pula si empunya mungkin merobek dengan kuat dan asal, kertasnya juga seperti pernah diremas-remas kemudian di rapihkan kembali. Dan kurang lebih beginilah tulisan di secarik kertas usang itu,
23 - September - 2013
Daku begitu paham sejatinya siapapun kelak akan bertemu ajalnya, suka atau tidak suka yang ditinggalkan harus lapang menerima, pastilah berduka tidak mungkin tidak, pastilah bersedih tidak mungkin tidak.
Tenanglah, berjalanlah ke tempatmu selanjutnya dengan damai dan tentram. Jika benar dapat melihatku yang masih di dunia, tolong jangan turut menangis ketika daku menangis, tolong jangan merasa berat ketika daku tidak bisa lapang.
Berbahagialah, nikmatilah setiap nikmat di tempat barumu, terutama nikmat sehat yang tidak kau rasakan di hari-hari terakhir nafasmu, benar kan sudah tidak sakit lagi?
Terakhir, perkenankan daku bertanya hal yang terus mengganjal dibenakku. Walau jika dikau menjawab dengan jujur, mungkin daku tidak akan mendengarnya. Tapi, jika seandainya masih ada kesempatan untuk terus membersamaiku, akankah dikau tetap memilih meninggalkanku?
Setelah selesai membacanya, kuhabiskan sepanjang malam dan dini hariku untuk meratapi keduanya. Bahkan jika aku diberikan kesempatan untuk bertanya sebelum mereka pergi, akupun benar-benar akan bertanya hal serupa. Tapi, kematian adalah takdir, bukan pilihan.
Pak, bu? Sudahkah kalian bertemu kembali?
Bersenang-senanglah, kerinduan yang berlayar beberapa tahun terakhir sudah menemui dermaganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H