Kekerasan psikis seringkali dilakukan untuk merendahkan korban, baik melalui kata-kata kotor, bentakan, hinaan atau ancaman. Selain itu dapat pula berupa tindakan penelantaran dalam rumah tangga, pengabaian tanggung jawab, diskriminasi, pemaksaan pernikahan, ingkar janji, perselingkuhan, poligami ilegal dan perceraian sepihak. Ini adalah bentuk kekerasan "tersembunyi" yang seolah-olah tidak terjadi, padahal jumlah kasusnya mendominasi.
Dilihat dari usia, perempuan korban kekerasan juga berasal dari kalangan anak, remaja, hingga dewasa dengan rentang usia 5 - >55 tahun. Dari latar belakang pendidikan, korban paling dengan dengan latar belakang pendidikan formal tingkat SMP dan SMA masing-masing 27 orang (36 %). Â
Ranah Terjadinya Kasus dan Pelaku Kekerasan
Ranah paling beresiko bagi terjadinya kekerasan terhadap perempuan adalah ranah pribadi/personal. Diantaranya perkawinan atau dalam rumah tangga, berupa KDRT sebanyak 69 dari 76 kasus atau sebesar 92%, dan dalam hubungan personal (hubungan pribadi/pacaran/orang yang dikenal) sebanyak 7 kasus atau sebesar 9%. Dari ranah personal ini, tidak sedikit diantaranya mengalami kekerasan seksual.
Pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan adalah orang yang cukup dikenal oleh korban, yaitu; suami, ayah, teman, sepupu, tetangga, guru, dosen, hingga mantan pacar. Dalam kasus kekerasan yang ditangani HAPSARI, pelaku terbanyak adalah suami dengan jumlah 52 kasus (68,4 %) berupa KDRT, mantan suami/mantan pacar sebanyak 8 kasus berupa Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) dan tetangga 8 kasus berupa Pelecehan Seksual.
Sulitnya Penanganan Kasus Kekerasan Seksual
Proses penegakan hukum dan keadilan bagi korban belum memberi kabar yang menggembirakan. Dari 76 kasus kekerasan yang korbannya didampingi HAPSARI, ketika kasusnya dibawa ke ranah hukum, sebanyak 1 kasus selesai dengan vonis 15 tahun hukuman penjara bagi pelaku. Selebihnya, 5 kasus yang sama sekali tidak memuaskan dan tidak adil bagi korban.
Penanganan kasus kekerasan seksual, apalagi yang terjadi karena adanya relasi kuasa, cukup sulit dilakukan. Seperti kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh HS, dosen FISIP USU kepada mahasiswinya. Meski menurut informasi saat ini HS telah menerima sanksi berupa penonaktifan selama satu tahun, namun begitu sulit membangun empaty untuk korban.Â
Di lingkungan kampus, korban nyaris "sendirian" karena kurang mendapat dukungan dan terus dipersalahkan atas dasar menjaga "nama baik kampus". Semakin "kuat" tekanan media terhadap pelaku, semakin kuat pula viktimisasi yang dialami korban dari pihak universitas yang merupakan kolega-kolega pelaku.
Korban Butuh Dukungan dan Integrasi LayananÂ
Korban butuh dukungan semua pihak, untuk mengakses keadilan dan pemulihan, serta memastikan mendapatkan layanan dasar yang layak dari negara. Oleh karena itu, praktek-praktek baik berupa integrasi layanan dalam penanganan kasus-kasus kekerasan melalui Sistim Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT) dan P2TP2A di tingkat kabupaten seperti yang telah dilakukan di kabupaten Deli Serdang, perlu dikembangkan di wilayah-wilayah lain di Indonesia. Dimana pemerintah bersama lembaga masyarakat non pemerintah seperti HAPSARI, memberikan layanan bagi korban kekerasan secara konprehensif, terpadu dan berkelanjutan.