“Andis, kok salah semua mengerjakannya? coba sini dibenerin lagi” kataku saat itu ketika melihat semua kerjaan muridku yang masih baru masuk bangku kelas satu sd ini salah semuanya.
“Nggak mau, aku capek kak, aku tadi pulang siang sekali, trus les membaca, trus sekalarang les lagi, aku capek, rasanya kayak keliling dunia.” katanya memelas dengan mata berkaca-kaca.
Bagaimana hatiku tidak rontok mendengarnya mengatakan demikian, keluhan yang sangat jujur yang keluar dari mulut anak yang belum genap berusia tujuh tahun. Ingin rasanya aku memeluknya dan mengajaknya keluar dari ruang kelas itu, tapi apalah daya, aku hanya seorang pengajar di bimbingan belajar yang terkekang dengan aturan-aturan lembaga. Dan yang bisa kulakukan kemudian hanyalah tersenyum dan memutar otak agar aku tak menyiksanya lebih kejam lagi.
“Oh ya? wah… Andis hebat ya, udah kayak superman.” kataku sembari kuacungkan dua jempolku padanya.
Sebelum ia berkeliaran ku pegang tangannya dan kukatakan padanya, “Andis boleh main-main dulu, tapi nggak boleh berisik ya, kalau andis berisik nanti mengganggu kelas lainnya, dan nanti kalau sudah selesai mainnya, Andis berubah jadi superman lagi ya, kita hajar sama-sama soal yang salah tadi, nanti kakak bantu, oke kapten?”
“Yaaaaahhhhh… aku caappppekk kaaakkk” sambungnya lagi dengan wajah memelas.
“Kakak bantu, ya? nanti dapet bintang kalau bisa benerin ini semua.”
“Hhmmmmmmmmmmmmmmmmm…. Iyadeh, nanti bintangnya dua ya.” jawabnya dengan sumringah.
Kujawab dengan anggukan dan senyuman, dan kemudian membiarkannya berkutat dengan puzzle-puzzle bermotifkan angry bird.
Malang, 10 September 2014
****
Kawan, Andis adalah muridku yang begitiu ceria, dulu ketika TK ia adalah murid yang sangat bersemangat, datang nyaris paling awal, dan terkadang justru tak ingin pulang ketika pelajaran sudah berakhir, aku sampai kerepotan mengakhiri kursus karena ia tak ingin ini diakhiri. Tapi ketika ia masuk sd, ia sering bolos kursus, soal yang ia kerjakan sering salah, dulu ketika TK ia langganan mendapat nilai sempurna, sekarang justru kebalikan.
Orang tuanya mengeluh pada pihak bimbingan belajar, kemudian pimpinan menegurku. Aku katakan tak ada yang salah dengan Andis, konsentrasinya saja yang terganggu, dan itu bukan karena kelainan atau apa, tapi karena orang tua yang terlalu memforsis andis. Ah, ingin rasanya aku marah. Sadarlah bunda, anak anda bukan kuda pacuan yang bisa diikutkan perlombaan untuk mendapatkan medali kemenangan. Mereka adalah anugerah Tuhan dengan segala yang ada padanya.
Hingga akhirnya sekarang Andis berhenti kursus, entah berhenti kursus di tempat aku mengajar atau benar-benar berhenti. Tapi aku harap ia benar-benar mendapatkan hal yang seharusnya ia dapat diusianya, kebebasan untuk mngeksplor kreativitas dengan bermain, bukan mengasah puluhan skill.
Tapi kau tau kawan, aku sangat merindukannya sekarang. Namun bahkan menghubuinginya pun aku tak bisa. Birokrsi lembaga memang aneh, tidak mengizinkan tentor untuk terlalu dekat dengan anak didik, apalagi punya nomor hp, haram hukumnya memberikan nomor hp ke anak didik, apa yang salah coba?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H