Perjalanan mendokumentasikan berbagai ritual tradisi di pedesaan, membawa saya ke tempat-tempat yang awalnya asing, tersembunyi di pelosok desa, di balik bukit-bukit dan pegunungan.
Berbekal informasi awal yang sangat terbatas tentang lokasi acara, ada semacam penanda yang saya gunakan sebagai acuan bahwa saya tidak tersesat. Mengikuti suara gamelan dan terus berada di jalanan desa yang berhias umbul-umbul, itulah cara untuk menemukan lokasi acara
Hajatan di pedesaan selalu menampilkan karawitan yang dimainkan secara live, tidak seperti di perkotaan yang para Pengrawit dan Waranggana-nya digantikan oleh pemutar musik elektronik.
Langgam Ijo-Ijo atau Rujak Jeruk dilantunkan dengan sangat indah oleh para Waranggana yang biasanya sudah agak sepuh, memang tidak semuda dan se-jelita para Waranggana-nya Pak Seno Nugraha, tapi tak kalah merdu suaranya. Langgam karawitan ini difungsikan sebagai musik penyambutan, dimainkan beberapa saat sebelum ritual-ritual dimulai.
Saat seperti inilah biasanya saya gunakan untuk wawancara dengan para sesepuh tentang seluk-beluk ritual tradisional yang sedang berlangsung di desa mereka.
Sambil mencicipi teh panas, jajan pasar dan ditemani alunan merdu langgam, ada sebuah perbincangan yang tidak hanya menjadi bekal saya menulis artikel, tapi juga membantu menyiapkan sudut pandang dalam memotret peristiwa di tempat itu. Dari sebuah sudut pedesaan, sebuah kelas yang sungguh menyenangkan mulai digelar.
Dalam kehidupan masyarakat pedesaan di Jawa, ada sebuah nilai spiritual yang melahirkan kesadaran bahwa manusia dengan seluruh isi alam adalah satu dalam kesatuan. Dari kesadaran tersebut memunculkan kebijaksanaan luhur untuk selalu menghormati alam dan berterimakasih atas berkah dari kekayaan alam.
Konsep ini dirasa perlu untuk divisualkan melalui sebuah ritual tradisi yang sering disebut sebagai Bersih Desa, Merti Dusun, Sedekah Bumi, Sedekah Laut, Nyadran, Rasulan, dll.
Makanan khas yang disajikan dalam prosesi ritual juga merupakan simbol-simbol kebijaksaan leluhur. Ingkung, Sego Golong, Tumpeng, Jenang, merupakan lambang sekaligus harapan (doa) yang diwujudkan dalam rupa makanan. Pentas kesenian tradisi, seperti Tayub, Wayang Kulit, Wayang Topeng Panji, juga membawa pesan-pesan yang sama, tentang kebijkasanaan hidup yang dikemas dalam cerita, gerak dan musik.
Ritual syukur di pedesaan telah mengalami adaptasi yang luar biasa hebat untuk mengatasi zaman. Diberbagai tempat telah tumbang oleh dogma yang lebih kuat, tapi yang bertahan tetap berjalan dengan cara menyesuaikan keadaan.
Ada beberapa unsur kepercayaan yang menyatu (cukup) harmonis dalam ritual syukur tersebut. Doa-doa yang dipanjatkan sebagian besar menggunakan doa dalam agama Islam. Secara visual yang terlihat pada hiasan, sesaji, tata cara prosesi banyak dipengaruhi oleh Hindu Jawa. Jika dilihat lebih dalam, intisari ritual tersebut bersumber pada filosofi pantheisme para leluhur Jawa.
Sudah menjadi pandangan umum, ketika masyarakat tradisional Jawa memberi penghormatan pada keberadaan pohon, sumber mata air, laut, sungai, gunung atau punden desa, dicap sebagai praktek animisme dan dinamisme.
Penyematan label animisme dan dinamisme merupakan sebuah upaya pengerdilan makna yang sungguh keliru. Karena dibalik segala prosesi tersebut, terkandung perlambangan dari rasa spiritual yang terdefinisikan sebagai pantheisme, bukan sekedar animisme dan dinamisme.
Pantheisme adalah konsep spiritual bahwa manusia, seluruh alam semesta dan energi tak terdefinisikan yang sering disebut Tuhan itu pada hakikatnya adalah satu kesatuan. Konsep ketuhanan yang berbeda dengan apa yang dipercayai dalam Monoteisme, tapi tetap bisa bertemu dan menyatu dalam ritual syukur di pedesaan.
Pantheisme muncul di kehidupan leluhur masyarakat Jawa dari proses memaknai alam semesta, melalui sudut pandang micro-cosmos dan macro-cosmos.
Frase seperti “Ibu Bumi-Bapa Angkasa” merupakan salah satu kata kunci sebagai petunjuk untuk memaknai pantheisme versi jawa tersebut. Kepercayaan ini bertumbuh pelan dari nilai spiritual yang sudah mulai muncul di era Megalithikum, sering disebut sebagai (agama)Budhi atau filosofi Jawa Jawata.
Keberadaan konsep spiritual ini di tanah jawa, sudah ada sebelum masuknya agama Hindu, Budha, atau Shiva-Budha. Prof. Dr. P.J. Zoetmulder dalam bukunya yang berjudul “Manunggaling Kawula Gusti” (Gramedia, 1990) mengamati merambatnya akar-akar filosofi pantheisme di era Hindu dan Islam, dalam teks Sastra Suluk Jawa. Walaupun berbagai agama masuk ke tanah Jawa, tampaknya pantheisme jawa tetap hidup dengan cara beradaptasi.
Pohon-pohon besar dihormati, tidak boleh sembarangan ditebang. Pohon dan aneka tumbuhan tetap bisa hidup tanpa manusia, tapi manusia tidak bisa hidup tanpa ada pohon dan tumbuhan yang memberikan oksigen, air beserta seluruh sumber pangan, sandang dan papan.
Dari Zoetmulder sampai kepada para sesepuh di desa, mengubah kerja dokumentasi tidak hanya sebatas menulis dan memotret peristiwa, tapi sebuah kelas pembelajaran yang sangat berharga.
Berbekal petunjuk dari umbul-umbul dan suara gamelan, saya menemukan lokasi acara ritual tradisi. Dari tempat tersebut, ternyata lebih banyak lagi hal yang ditemukan, terutama tentang nilai-nilai kebijaksanaan hidup para leluhur yang terkandung dalam setiap prosesinya. Nilai-nilai pantheisme dari masa lalu yang sekaligus juga sangat kekinian, jika dilihat dari ranah pelestarian alam dan science.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H