Hujan.
Semakin lama kerapatannya semakin tajam. Beberapa bocah yang tadinya asyik bermain hujan, mendadak menghilang. Sesekali petir mulai terdengar. Kilat menyambar memberi tanda sebelum ada suara menggelegar. Pak Din, penjual mi ayam, kerepotan menggelar terpal kecil sebagai penahan air hujan. Di sebelah langgar, Mbok Min berteriak memanggil Ical, puteranya, untuk segera pulang.
'Jum?' gumam Mbok Min lirih. 'Jum! Apa yang kau lakukan di situ! Lekas pulang! Hujan begini tak ada orang di jalan!' teriaknya cemas. Suaranya hampir tenggelam bersama derasnya air hujan.
Jum tak membalas. Matanya lurus ke depan. Bajunya setengah basah terkena cipratan pengendara motor dari seberang gang.
'Jum! Pulang!' Parmin yang kebetulan melintas juga menyuruhnya pulang. Tapi hujan tak bisa membuatnya berhenti berlama-lama. Minah di boncengannya tampak begitu payah menutupi tubuh si kecil yang mulai menggigil kedinginan. Motor Parmin hanya menyisakan cipratan lumpur di kain Jum yang mulai memudar.
Jum bergeming. Pikirannya sedang begitu sibuk sekarang.
...
'Kapan kau kembalikan? Emak terus bertanya kebingungan.'
Hari itu senja tak seperti biasanya. Langit menghitam sebelum waktunya. Marno tak menjawab pertanyaannya. Hanya hembusan asap rokok yang menggelembung di udara.
'Sudah tiga bulan, Kang. Aku terus berbohong kalau sertifikat itu dibawa Monang. Kemarin emak melabrak rumah Monang dan kepalanya pening semalaman.' 'Aku tak tahu harus bagaimana lagi sekarang.'
Marno menghela napas panjang. Monang memang tak bersalah. Ia hanya kambing hitam yang terseret namanya lantaran dendam saat Marno tak mendapat pinjaman uang. Sertifikat keparat itu sebenarnya sudah diuangkannya pada Saman. Dia butuh banyak biaya untuk mengeluarkan Marni dari penjara. Adalah kegemarannya berjudi yang harus membuatnya menjual istrinya sendiri. Malang, Marni ditangkap  saat sedang melacur bersama seorang lelaki yang baru dikenalnya di meja judi.
'Kang..'
'Sudah diam!' 'Nanti pasti kukembalikan. Kau pulanglah sekarang.'
Sedikitpun Marno tak menatap wajah wanita yang sudah diperdayanya. Pandangan Jum semakin memudar. Airmata memenuhi sudut-sudut kelopak matanya. Antara perasaan takut dan juga tertekan. Bagaimana ia harus menjelaskan persoalannya pada emak nanti. Sertifikat rumah satu-satunya yang dicuri, belum lagi..
'Aku.. hamil, Kang.'
'Apa?' Mata Marno berkilat menyala.
'Iya, Kang. Sudah telat tiga mingguan,' ujar Jum terisak.
Seketika Marno bangkit dan membuang putung rokoknya. 'Dasar  perempuan pembawa sial!'  'Mau mati kau, hah?' Marno menyalak menjambak rambutnya. Jum tak sanggup berbuat apa-apa. Setetes darah menitik dari bibirnya. Tamparan keras Marno nyaris membuatnya pingsan.
'Kau bilang pada emak kalau aku pelakunya?' Marno menariknya bangkit dan mencekik lehernya.
'Tidak, Kang.. Aku tidak..' Jum tak sanggup menjawab pertanyaannya. Leher yang tersekat membuatnya tak bisa berbicara.
'Awas, jika kau berani sedikit saja menyebut namaku, kuhancurkan isi kepalamu! Mengerti?' ancamnya.
Jum menggeleng sekaligus mengangguk ketakutan.
'Bagus. Sekarang kau pergilah. Kepalaku pusing mendengar ocehanmu yang tak berguna,' ucap Marno tanpa beban.
'Tapi, Kang..'
'Keluar kau, bangsat!' 'Aku bilang, keluar!'
Marno mendorong tubuh Jum dan membanting pintu dengan kesal. Dalam keadaan seperti ini tak  seorangpun ingin mendengar berita tentang kehamilan. Jum hanyalah sarana yang bisa membantunya mengatasi masalah. Tak ada cinta sedari awalnya. Yang ada hanyalah kepentingan belaka.
Jauh di belakang, Jum hanya bisa menangis sesenggukan.
...
Hujan belum lagi reda. Baju Jum sudah sepenuhnya basah. Wajahnya pucat dan bibirnya menggigil mengerang. Sudah tiga hari ini ia berkeliaran. Seperti tak lagi tahu jalan pulang. Sesekali ia diam, sesekali ia tersenyum muram. Lama kelamaan ia tertawa. Semakin lama semakin keras suaranya. Seolah-olah dilihatnya Marno menyusul dengan membawakan mantel untuknya. Di sebelahnya, emak tertawa sembari mengibaskan selembar sertifikat rumah. Dan Monang, lelaki yang malang itu tersenyum membukakan pintu maaf yang selebar-lebarnya. Namun bayangan itu satu per satu hilang tiba-tiba. Jum pun mulai menangis tanpa suara. Jemarinya menggaruk kepala dan rambut kumalnya yang tak terasa gatal. Lirih ia bergumam menyebut nama Tuhan. Namun sepertinya Tuhan tidak mendengar. Di saat seperti itu, hanyalah hujan yang bisa dijadikan teman.
.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI