Malam ini, simbok memasukkan hampir seluruh isi lemari ke dalam kotak kulit besar itu. Koper. Entah koper entah benar-benar kotak kulit. Aku yang bocah lulusan SD kurang paham pada keduanya. Tak ada air mata yang jatuh kali ini. Entah sudah mengering atau memang sudah benar-benar kebal pada rasa sedih.Â
Asrama. Masuk asrama khusus putri di tanah yang belum pernah terjamah sebelumnya oleh bocah kecil seumurku. Hanya mendengar nama kota itu saat bapak dan ibu guruku menjelaskan tentang kabupaten di Jawa Barat.
"Berangkat besok pagi, ndak boleh ndak, harus berangkat, yo" simbok mengelus kepala berambut pirangku.
Ada kesedihan sebetulnya dalam suara simbok. Bapak yang duduk di atas amben kayu, tak berkata sepatah kata pun. Diam. Mungkin bapak juga sedih melepas kepergianku besok pagi.Â
Aku anak bungsu simbok harus terlempar jauh keluar rumah. Meninggalkan rumah sederhana tempat bapak dan simbok membesarkan kami, anak-anaknya. Pil pahit perpisahan harus ku telan, bocah 12 tahun, terpisah dari induknya.
"Jangan muntah, malu tuh..." simbok mengelus perut mungilku di dalam bis itu.
Aku tak peduli dengan omongan simbok. Ku tumpahkan seluruh isi perutku ke atas kain panjang simbok. Basah dan bau yang menyengat. Aku hanya nyengir saja. Aroma minyak pijat memenuhi semua penjuru bus Rudi yang membawaku.Â
Tetiba aku seperti nenek-nenek yang sakit rheumatik dan dibaluri minyak pijat. Lima jam perjalanan kurang lebih, dengan perut yang melilit rasanya, muntah berkali-kali dalam kantong plastik berwarna hitam, akhirnya alamat yang dituju dapat ditemukan.Â
Dalam perjalanan ini ada Setyorini dan bapaknya, juga Marsutiyo yang diantar bapaknya. Hanya aku yang diantar lengkap oleh bapak dan simbok.
Merinding. Seketika tubuhku merinding melihat bangunan itu. Kotak kulit ditarik bapak karena beratnya luar biasa. Sedang simbok menuntun tanganku yang  mungil. Mungkin khawatir aku kabur pulang lagi ke rumah. Erat sekali simbok memegang tanganku.Â