"Duduklah," kutunjuk sisiku untuknya.
Dijatuhkannya dirinya dekat pada batang trembesi yang mulai jatuh satu-satu rintiknya.
Aku menatapnya dalam kelam. Rintik mulai tak bersahabat, menderas. Kuusap pipinya yang mulai basah, entah oleh rintik alam atau rintik dari hatinya.
"Mengapa dulu kamu pergi?" tanyanya
Kugenggam 10 jemarinya.
"Maafkan aku,"
"Mengapa?"
Aku tak kuasa berkata. Kurengkuh pundaknya. Kujatuhkan kepalanya pada bidangku, di bawah trembesi yang mulai ramai rintiknya. Bersama rintik hati milikku.
"Tahukah kamu, apa yang terjadi setelahnya?" tanyaku
Dia hanya terdiam. Tetap menyembunyikan kepalanya pada dadaku.
"Aku rindu," kataku. Pelukan itu semakin kupererat disertai tangisan.
Tahukah kamu, banyak tangisan yang hanya kudengar sendiri. Berharap bahwa kamu mendengarnya dari seberang. Sewindu tangisan itu hanya milikku seorang.
"Apa yang akan terjadi setelah ini?" tanyanya
"Apa kamu akan pergi lagi? Seperti dulu?"
"Tidak. Aku akan menjadi anginmu."
"Tapi..."
"Aku akan bersabar," kataku menjawab ragunya.
Kueratkan pelukan melawan banyak rintik yang mulai menusuk tulang. Di bawah trembesi, aku berjanji, satu windu waktu yang cukup untuk membuat kami terluka. Sama-sama terluka.
to be continued
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI