Mohon tunggu...
Lefi Kembuan
Lefi Kembuan Mohon Tunggu... -

... hanya sesesorang yang menulis sekedarnya setelah melihat sesuatu dan mendapat pemikiran atas sesuatu itu ...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

aku memandang si rambut hitam

30 Maret 2010   15:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:06 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku hanya bisa memandangnya. Dia duduk di seberang aku. Hanya empat meter. Tidak jauh. Sekalipun aku hanya berbisik, itu pun sudah cukup baginya untuk mengangkat kepalanya sejenak dan memandang aku. Tetapi aku tidak mau dia memandang diriku.

Biar saja aku yang memandangnya, walaupun aku harus mencuri pandang. Sekali lagi, aku tidak mau.

Rambut hitamnya bergelombang dan berkilat ditimpa cahaya lampu spotlight yang sesekali melewatinya. Dia tidak duduk menghadap meja makannya. Tubuhnya lebih condong ke arahku. Aku bisa melihat lehernya yang jenjang dihias dengan kalung manik hitam, sehitam pekat pakaiannya. Tangannya ditopang oleh sikunya yang menekuk di atas meja bundar itu. Kakinya yang jenjang indah pun bersilang. Jelas bagiku, dia sangat melindungi kehormatannya. Itu yang terpikir olehku. Dia akan melindunginya dengan kobaran semangat semerah batu rubi, semerah bibirnya,

Di dekat siku tangannya segelas Bloody Mary yang tinggal seperempat dari seharusnya memberi petunjuk bagiku. Dia akan meninggalkan meja itu. Aku masih ingin tetap memandangnya. Menikmati setiap keindahan yang ada pada dirinya. Benar-benar saat yang berharga. Aku tidak ingin waktu ini lewat seperti tepung putih yang menghilang dalam sambaran angin instant yang keluar dari fan di pojok ruangan.

Dari sudut ruangan, pianis memainkan irama waltz yang sudah hampir tak terdengar di stasiun radio mana pun. Lalu dia melantunkan syairnya dengan lembut dari suara serak-serak basahnya, ...

... And I was almost persuaded ... to strip myself of my pride ... *


Aku harus meninggalkan ruangan ini. Pergi. Kembali kepada kehidupan yang sesungguhnya. Harus. Biarlah aku mengenang saat ini sebagai satu dari sekian banyak saat yang terindah. Toh, aku bukan mereka. Mustahil juga aku dapat memeluk Si Rambut Hitam itu. Hhh ..., aku menertawakan pikiranku.

Aku membalikkan badanku. Jangan sampai Juru Masak yang gemuk itu memergoki aku sedang menatap terpana pada si Rambut Hitam.

Terlambat ... Si Gemuk sudah melihatku.

Aku langsung berlari ke bawah meja. Entah bagaimana caranya, aku masih sempat mengambil potongan keju itu.

... but your sweet love made me stop and go home ...


Baris syair itu masih tertangkap di telingaku sebelum Si Gemuk meremukkan tulang punggungku dan memegang ekorku yang panjang dengan tangan kirinya yang terbungkus plastik hitam lalu melemparku ke jalan di belakang kedai minum ini.

Tidak lama kemudian sebuah mobil yang melintas akan mengeluarkan isi tubuhku.dengan putaran rodanya, termasuk jantung yang sebelumnya berdegup dalam irama cinta untuk Si Rambut Hitam

... ciit ... ciit ... cii ... iit ...

Aku ingin Si Rambut Hitam yang terakhir di pikiranku sebelum ...

Splash!!

... and I was almost persuaded ...


Ada sesuatu yang mengenai mata kanan juru masak itu. Datangnya dari jendela di dekat tempat cuci yang sedang terbuka. Juru Masak masih sempat melihat benda itu menggelinding sebelum masuk ke rongga pembuangan air. Seperti jantung. Kecil dan semerah batu rubi.

... to let strange lips lead me on ...


Sementara di ruangan lain kedai minum, seorang petugas keamanan mengangkat boneka mannequin yang sebelumnya dipakai untuk pemotretan iklan promosi. Rambutnya sudah ditanggalkan. Ternyata lentur, namun tidak berarti ringan.

Non sequitur ... ♥

[ LRJK | XXX.III.MMX AD ]

* Almost Persuaded ; Glen Sutton dan Billy Sherrill; 1966

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun