Aku hanya bisa memandangnya. Dia duduk di seberang aku. Hanya empat meter. Tidak jauh. Sekalipun aku hanya berbisik, itu pun sudah cukup baginya untuk mengangkat kepalanya sejenak dan memandang aku. Tetapi aku tidak mau dia memandang diriku.
Biar saja aku yang memandangnya, walaupun aku harus mencuri pandang. Sekali lagi, aku tidak mau.
Rambut hitamnya bergelombang dan berkilat ditimpa cahaya lampu spotlight yang sesekali melewatinya. Dia tidak duduk menghadap meja makannya. Tubuhnya lebih condong ke arahku. Aku bisa melihat lehernya yang jenjang dihias dengan kalung manik hitam, sehitam pekat pakaiannya. Tangannya ditopang oleh sikunya yang menekuk di atas meja bundar itu. Kakinya yang jenjang indah pun bersilang. Jelas bagiku, dia sangat melindungi kehormatannya. Itu yang terpikir olehku. Dia akan melindunginya dengan kobaran semangat semerah batu rubi, semerah bibirnya,
Di dekat siku tangannya segelas Bloody Mary yang tinggal seperempat dari seharusnya memberi petunjuk bagiku. Dia akan meninggalkan meja itu. Aku masih ingin tetap memandangnya. Menikmati setiap keindahan yang ada pada dirinya. Benar-benar saat yang berharga. Aku tidak ingin waktu ini lewat seperti tepung putih yang menghilang dalam sambaran angin instant yang keluar dari fan di pojok ruangan.
Dari sudut ruangan, pianis memainkan irama waltz yang sudah hampir tak terdengar di stasiun radio mana pun. Lalu dia melantunkan syairnya dengan lembut dari suara serak-serak basahnya, ...
... And I was almost persuaded ... to strip myself of my pride ... *
Aku harus meninggalkan ruangan ini. Pergi. Kembali kepada kehidupan yang sesungguhnya. Harus. Biarlah aku mengenang saat ini sebagai satu dari sekian banyak saat yang terindah. Toh, aku bukan mereka. Mustahil juga aku dapat memeluk Si Rambut Hitam itu. Hhh ..., aku menertawakan pikiranku.
Aku membalikkan badanku. Jangan sampai Juru Masak yang gemuk itu memergoki aku sedang menatap terpana pada si Rambut Hitam.
Terlambat ... Si Gemuk sudah melihatku.
Aku langsung berlari ke bawah meja. Entah bagaimana caranya, aku masih sempat mengambil potongan keju itu.
... but your sweet love made me stop and go home ...
Baris syair itu masih tertangkap di telingaku sebelum Si Gemuk meremukkan tulang punggungku dan memegang ekorku yang panjang dengan tangan kirinya yang terbungkus plastik hitam lalu melemparku ke jalan di belakang kedai minum ini.
Tidak lama kemudian sebuah mobil yang melintas akan mengeluarkan isi tubuhku.dengan putaran rodanya, termasuk jantung yang sebelumnya berdegup dalam irama cinta untuk Si Rambut Hitam