Terutama bagaimana mempertahankan budidaya bisa eksis di tengah gempuran harga benih di level pembudidaya yang dipastikan akan naik tajam akibat pengaruh harga benih ekspor.
Saya kira ini tantangan berat dan harus terjawab dalam substansi review Permen KP yang baru, sehingga tidak memunculkan polemik yang berkepanjangan.
Kedua, apakah dengan dibukanya ekspor benih secara terbatas akan menjamin budidaya lobster dalam negeri tetap eksis?
Kekhawatiran penulis bukan tanpa dasar, lima tahun lalu tepatnya tahun 2005, penulis sempat melakukan kajian khususnya berkaitan dengan persepsi para pembudidaya lobster di Teluk Ekas dan Teluk Telong Elong, Lombok.Â
Sekitar tahun 2005 hingga pertengahan 2006 memang lagi gencar gencarnya ekspor benih lobster ke Vietnam dengan harga yang fantastis.
Kesimpulannya, memang ada dampak signifikan terhadap aktivitas budidaya lobster yang dilakukan di dua kawasan tersebut.Â
Lebih dari 80 persen aktivitas budidaya mati. Penyebabnya suplai benih berkurang drastis, karena pembudidaya tidak mampu bersaing mendapatkan harga benih yang terjangkau.
Bayangkan harga benih ekspor di level nelayan rata rata Rp25.000 per ekor, sementara pembudidaya hanya mampu beli Rp2.500 per ekor.Â
Penyebab lain adalah banyaknya pembudidaya lobster yang justru memilih alih profesi menjadi penangkap benih, karena lebih banyak meraup untung. Bahkan fenomena alih profesi tersebut juga menyasar pada pembudidaya rumput laut.
Oleh karenanya, saya mengusulkan ada kajian khusus mengenai persepsi masyarakat. Pembudidaya lobster tulen terhadap rencana review ini, sehingga informasinya berimbang dan semua aspirasi bisa masuk.
Bagi saya, ekspor benih terbatas bisa saja dilakukan selama eksistensi budidaya dalam negeri juga terjamin. Artinya nelayan untung, namun pembudidaya tidak buntung.