(1) Penangkapan benih lobster akan dibuka untuk kepentingan budidaya di dalam negeri;Â
(2) Keran ekspor benih lobster akan dibuka secara ketat, terkendali dan terbatas;Â
(3) Kewajiban pemilik izin ekspor untuk mengembangkan teknologi (perbenihan dan pembesaran) dan kewajiban restock pada fase tertentu.
Bayangkan harga satu ekor benih stadia Pereulus bisa mencapai Rp35.000 tanpa harus capek-capek. Bisa dihitung jika sehari dapat 10 ekor saja, maka nilainya mencapai Rp350.000 per hari.Â
Betapa menggiurkan. Namun akankan kondisi seperti ini akan bertahan lama? Tentu waktu akan menjawab.
Prof. Effendi Gazali, pakar komunikasi politik yang juga ketua KP2KKP menyampaikan bahwa berdasarkan hasil kajian, kelimpahan stok benih lobster mencapai 12,5 milyar ekor. Bahkan menurutnya tidak ada alasan lobster ini bisa punah (Sumber: Harian Kompas, 10 Januari 2020)
Tapi sekali lagi saya perlu sampaikan bahwa dalam prinsip sustaibable development, kita juga harus memahami pertimbangan unsur kehati hatian (pre-cauntionary principle), prinsip keadilan antar generasi dan perlindungan biodiversity.
Dengan demikian pola pemanfaatan sumber daya alam bisa lebih terukur dan bertanggungjawab.
Hari ini Senin. (10/2/2020), Harian Kompas mengulas isu di atas. Pro dan kontra pun muncul di ruang publik dan saya rasa ini akan terus bergulir jika Pemerintah tidak segera mengambil langkah langkah untuk menjamin win win solution.
Sama halnya dengan pendapat saya, bahwa diskursus akan mengerucut pada poin 2 (dua) yakni rencana pembukaan kran ekspor benih lobster.Â