Beberapa hari ini, jagat maya kembali dihebohkan oleh diskursus publik tentang polemik sebuah disertasi seorang doktor. Disertasi itu, mengulas konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual non-Marital. Artinya kira kira menyimpulkan kehalalan melakukan zina di luar ikatan perkawinan. Ya. Disertasi, produk akademik dan telah lulus sensor di ruang sidang itu.
Sebenarnya saya mencoba menahan diri untuk tidak menyalurkan hasrat saya menulis tentang diskursus ini. Tapi, ternyata tak bisa. Ada kekuatan besar, bahkan otak saya tiba tiba mendidih. Akhirnya saya tulis ini. Tentu saya tidak akan berdebat terkait keilmuan. Saya bukan ahli al- qur'an. Cukup bagi saya memahami fatwa MUI tentang polemik ini.
Pro kontra kemudian muncul, bahkan dikalangan para cerdik pandai. Bagi yang memegang mazhab akademik radikal (istilah penulis), tentu menganggap disertasi ini sebagai karya ilmiah, produk akademik yang harus dihargai.
Tentu mereka mengacu pada kriteria teknis sebuah karya ilmiah disebut disertasi jika memenuhi kriteria noveltis (kebaruan), orisinalitas (keaslian) dan lainnya. Saya tidak hafal diluar kepala.
Artinya jika semua kriteria terpenuhi, dan disertasi teruji di ruang sidang. Di depan penguji yang tidak lebih dari 10 orang. Maka, disertasi sah sebagai produk akademik.
Walau saya tak faham seberapa dalam penguasaan ilmu agama tim penguji itu. Mestinya ada perwakilan MUI turut serta jadi penguji tamu.
Sebagai sebuah produk akademik, maka menurutnya patut dihargai sebagai bagian dari kebebasan berfikir. Menyanggahnya ya harus dengan produk serupa. Diruang yang sama.
Sebuah jargon bahwa "produk ilmiah boleh salah asal tak bohong". Ya saya sepakat jika itu diujikan diruang akademis. Lantas bagaimana jika diuji di ruang publik? Padahal disertasi tersebut menyangkut masalah sosial dimana publik jadi objeknya.
Apakah publik dibiarkan menilai dan bahkan mengadopsi kesimpulan yang salah itu? Dalam konteks ilmu pasti, saya sepakat. Tapi dalam konteks ilmu agama, apalagi menyangkut hukum Tuhan yang absolut tentu saya tak sepakat. Lebih prontal lagi menolak, melawan.
Sebagai seorang yang tertarik dengan masalah sosial, tentu saya prihatin, sedih dan marah. Kebebasan berfikir adalah hak individu. Tapi hak juga dibatasi oleh dimensi sosial - kultural.
Artinya, anda boleh menuntut hak selama tidak menyebabkan eksternalitas/ekses buruk terhadap tatanan sosial dan kultur yang berlaku di masyarakat.
Lalu bagaimana dengan disertasi AA yang lagi viral itu? Yang terlanjur keluar ke ruang publik. Tentu dalam konteks dimensi sosial, jika dibiarkan kesimpulannya berkembang liar di publik, sangat berpotensi merusak tatanan masyarakat.
Saya khawatir terjadi demoralisasi, karena karakter publik beragam. Bisa bisa ada yang menganggap legal prilaku itu. Atas dasar persepsi pribadi.
Aneh memang produk disertasi ini. Atas dasar apa ada kesimpulan bahwa zina diluar nikah boleh. Padahal hukum positif jelas melarang, apalagi hukum islam dan agama lain di Indonesia. Saya hanya menyimpulkan, beliau dan tim penguji mungkin belum memiliki kepekaan sosial.
Maka, waspada ditengah cepatnya arus informasi saat ini, justru demoralisasi kian kentara. Pandangan pandangan liberal justru telah menginfiltrasi kehidupan beragama, bermasyarakat dan ruang ruang akademis. Kaum cerdik pandai.
Maka, lebih baik jadi orang dungu karena ketidaktahuan dari pada jadi orang pinter keblinger. Lebih bahaya mana? Tanya pada hati.
Wallahualam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H