Mohon tunggu...
Kang Chons
Kang Chons Mohon Tunggu... Penulis - Seorang perencana dan penulis

Seorang Perencana, Penulis lepas, Pemerhati masalah lingkungan hidup, sosial - budaya, dan Sumber Daya Alam

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Perlu "Grand Design" untuk Optimalkan Nilai Ekonomi Akuakultur

3 Juli 2019   15:38 Diperbarui: 4 Juli 2019   16:47 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu Presiden Jokowi melalui Menko Bidang Kemaritiman menekankan agar mulai fokus menggarap industri akuakultur nasional. 

Menurut pandangan penulis, sangat tepat apa yang disampaikan Jokowi tersebut, walaupun terkesan terlambat, karena faktanya selama bertahun-tahun sumber daya akuakultur pemanfaatannya masih sangat kecil dan hingga saat ini masih sebagai "the sleeping giant".

Bayangkan saja, Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terpanjang di dunia ditambah dengan potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang besar, ternyata belum mampu mendongkrak kontribusi besar sektor ini terhadap PDB Indonesia.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, misalnya mencatat kontribusi sektor KP terhadap PDB Indonesia (berdasarkan harga berlaku) hanya sekitar 2,56 persen, di mana sekitar 60 persennya diprediksi dari sub sektor akuakuktur. Dengan kata lain sub sektor ini hanya memberikan share sebesar 1,53 persen terhadap PDB Indonesia.

Kenyataan ini cukup ironis memang, sebab KKP mencatat bahwa potensi indikatif lahan budidaya (laut, payau dan tawar) seluas lebih kurang 17 juta hektar.

Berdasarkan itungan kasar penulis terhadap potensi nilai ekonomi SD akuakuktur dengan merujuk pada data potensi indikatif di atas, bahwa potensi efektif nilai ekonomi SD akuakuktur diprediksi hingga mencapai 251 milyar USD per tahun atau setara dengan Rp 2.500 trilyun per tahun (kurs 1 USD = Rp 10.000,-).

Pertimbangan besarnya potensi nilai ekonomi SD akuakultur di atas, harus menjadi pijakan awal untuk mulai fokus menggarap sub sektor ini. Tentu tidak bisa dilakukan secara instan, dengan kata lain perlu ada grand design yang efektif dengan indikator-indikator yang terukur dan berorientasi pada outcome baik jangka pendek, jangka menengah dan panjang. RPJP/RPJMN harus mulai terfokus pada sumber ekonomi berbasis SDA termasuk akuakultur melalui pengelolaan secara sustain.

Himbauan Presiden Jokowi, mestinya segera ditindaklanjuti dengan menjadikan optimalisasi SD Akuakultur ini menjadi prioritas nasional. Ini penting agar seluruh lintas sektor, swasta dan stakeholders lainnya secara bersama-sama fokus dalam membuat dan mengimplementasikan grand design yang lebih konkrit.

Jika saja, tiap tahun kita mampu memanfaatkan nilai ekonomi SD akuakultur sebesar 5% saja, maka tiap tahun ada share nilai ekonomi setidaknya Rp 125 triliun. Artinya bisa digunakan untuk membantu menutup defisit APBN yang selalu terjadi.

Setidaknya ada 3 nilai strategis penting kenapa subsektor akuakultur ini harus menjadi prioritas nasional. Pertama, isu global terkait food security (ketahanan pangan). Akuakultur memiliki andil besar dalam upaya pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi masyarakat. 

Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti dalam sebuah kesempatan mengatakan bahwa tantangan ke depan bukan lagi terkait isu-isu ideologi, namun terkait masalah defisit pemenuhan kebutuhan pangan. 

Kedua, besarnya potensi nilai ekonomi sumber daya akuakultur akan berpotensi mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional melalui peningkatan devisa ekspor dan investasi. 

Ketiga, akuakultur berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dan menurunkan rasio gini. Tentu karena usaha ini lebih menekankan pada family based-aquaculture, khususnya keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat kecil di pedesaan dan pesisir.

Menurut pandangan penulis, secara garis besar grand desain optimalisasi nilai ekonomi akuakultur harus didorong pada upaya-upaya, sebagai berikut:

Pertama. Perbaikan sistem produksi. Sistem produksi yang dimaksud mencakup seluruh sub sistem yang ada dengan tujuan akhir menggenjot produktivitas sesuai daya dukung dan efisiensi produksi. Mulai dari perbaikan kualitas induk dan benih sesuai target kebutuhan dan yang paling penting bagaimana membangun dan menata sistem logistik benih secara efektif, sehingga mampu menjangkau kebutuhan benih berkualitas di seluruh sentral-sentral produksi.

Pengembangan teknologi yang adaptif berbasis daya dukung dan berorientasi pada peningkatan produktivitas, efisiensi produksi dan environmental friendly.

"Besarnya potensi nilai ekonomi sumber daya akuakultur akan berpotensi mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional melalui peningkatan devisa ekspor dan investasi."

Ketersediaan pakan berkualitas dan terjangkau. Gerakan pakan mandiri harus naik level secara kualitas dan bisa digunakan untuk komoditas-komoditas unggulan ekspor. Tentu yang paling penting bagaimana membangun sistem logistik pakan yang efektif.

Pengembangan sistem pengendalian kesehatan ikan dan lingkungan yang efektif termasuk didalamnya sistem early warning secara update dan cepat diakses pelaku usaha akuakultur.

Yang sangat penting lagi yakni bagaimana menjamin kemudahan akses pelaku akuakultur terhadap input produksi yang efisien, akses pembiayaan dan pasar.

Kedua. Mendorong investasi. Masuknya investasi dalam bisnis akuakultur akan mempercepat optimalisasi pemanfaatan nilai ekonomi. Tentunya investasi yang tidak semata mata fokus hanya pada corporate based-aquaculture, namun investasi yang secara langsung memberayakan masyarakat dan jadi penghela bagi terciptanya "trickle down effect". Investasi diarahkan pada bisnis bisnis yang high capital dan komoditas orientasi ekspor.

Penciptaan iklim investasi dan usaha yang kondusif dengan tata perijinan yang akuntabel dan transparan akan menarik minat investasi di bidang ini.

Jika merujuk pada data BKPM, sepanjang Januari - September tahun 2017 misalnya, tercatat investasi pada bisnis akuakultur baru mencapai Rp 936 miliar. Tentu ini sangat kecil, mengingat potensi nilai ekonomi yang luar biasa besar.

Ketiga. Keberpihakan dalam perencanaan tata ruang/zonasi. Tentu ini penting untuk memberikan perlindungan terhadap keberlanjutan usaha akuakultur. Komitmen untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan peruntukan akuakultur untuk kegiatan lain harus dilalukan melalui affirmative policy dalam regulasi tata ruang wilayah/zonasi.

Keempat. Peningkatan devisa ekspor. Defisit neraca perdagangan RI akhir akhir ini mestinya bisa ditutupi jika mampu menggenjot ekspor komoditas akuakultur bernilai tambah. Udang misalnya, telah memberikan share dominan terhadap total ekspor perikanan nasional atau hampir sekitar 40% nya. 

Komoditas ini juga menjadi andalan utama produk ekspor Indonesia. Tentu ini jadi peluang untuk menggenjot produksi ekspor komoditas unggulan lainnya. Apalagi jika bicara akuakuktur, Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang lebih tinggi dibanding negara lain.

Kita juga mesti berkaca dari Vietnam yang mampu menjadikan patin sebagai unggulan ekspor dengan nilai devisa yang besar. Terlepas saat ini produk patin asal vietnam tengah menghadapi masalah keberterimaan di pasar global. Vietnam berhasil mendoring engineering efisiensi pada komoditas patin, namun abai terhadap preferensi konsumen. 

Ini mesti jadi pelajaran penting bagi Indonesia, yakni sebuah keniscayaan menciptakan engineering efisiensi seperti yang dilakukan vietnam, namun sejalan dengan itu preferensi konsumen global harus terus di jaga.

Pengembangan daya saing produk harus didorong dengan menciptakan efisiensi dan mutu produk sesuai standar pasar global.

Kelima. Pengembangan pusat pertumbuhan berbasis akuakultur. Konsepsi ini, bagaimana menciptakan pergerakan ekonomi yang berbasis pada sub sektor akuakultur. Desain konsep sebenarnya sejak tahun 2012 telah dilakukan melalui konsep "minapolitan". Sayangnya konsep ini kurang berjalan semestinya. Oleh karena itu, kedepan konsep seperti minapolitan harus kembali digerakan dengan implementasi yang lebih konkret dan jadi prioritas nasional.

Mengakhiri ulasan ini, penulis kira sudah saatnya seluruh stakeholders meninggalkan pendekatan yang parsial dan instan. Optimalisasi pemanfaatan nilai ekonomi SD akuakultur yang begitu besar harus dilakukan melalui desain kebijakan yang komprehensif, integratif, terukur, terarah dan berkesinambungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun