Ada 2 (dua) tantangan besar yang akan dihadapi penduduk bumi yakni defisit pangan dan krisis sumberdaya air. Ibarat anatomi tubuh, air adalah darah yang menjamin denyut nadi kehidupan manusia. Maka mustahil kehidupan berlanjut tanpa peran air di dalamnya.
Sayangnya, sebagian dari kita tak sadar bahwa siklus air terbatas sesuai daya dukungnya. Apalagi jika bicara keserakahan makhluk yang namanya manusia.
Alam sesungguhnya telah memberikan tanda pada setiap pergantian musim. Dimana mestinya, manusia melihat tanda tanda itu setiap saat. Agar menyadari bahwa alam punya keterbatasan mensupport kehidupan makluk bumi. Tentu dipicu oleh keserakahan kita sebagai manusia yang katanya berakal budi.
Pengantar saya di atas, tentu bagian dari pelampiasan kejengkelan saya terhadap keserakahan tersebut. Keserakahan yang memicu defisit sumberdaya alam termasuk mimpi buruk tentang krisis air. Yang nyata nyata tengah kita hadapi.
***
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Saya membaca laporan sebuah hasil riset yang dipublish di salah satu media nasional baru baru ini. Yakni Economist Intelligence Unit atau EUI yang melaporkan kesimpulan hasil risetnya. Hasilnya Indonesia sebagai salah satu negara yang paling berisiko mengalami krisis air.
Berdasarkan laporan itu, Indonesia ada di urutan keempat dari sepuluh negara teratas untuk populasi yang berisiko terhadap kerentanan terhadap krisis air.
Kesimpulan lainnya, Indonesia juga berada di peringkat enam dalam indeks banjir, yakni potensi populasi terkena banjir.
Bagi saya hasil riset di atas benar adanya. Fakta memang tak bisa dipungkiri bahwa sumberdaya air semakin terdegradasi. Penyebabnya salah kaprah pengelolaan. Pola pemanfaatan sumberdaya alam yang tak terukur, over eksploitatif dan mengabailan enviromental ethic.
Tengok beragam bencana banjir, belum lama banjir bandang di Sentani Papua adalah akibat dari akar masalah tingginya laju deforestasi.
Hilangnya daerah resapan air (catchment area) sudah sedemikian parah, akibat pembalakan baik liar maupun sengaja dilegalkan. Ya, legal karena faktanya fungsi hutan lindung bisa begitu saja berubah fungsi sebagai kawasan budidaya dalam rencana tata ruang wilayah. Sudah jadi rahasia umum, pola ruang berubah sesuai kepentingan. Banyak diberbagai daerah. Semua tutup mata. Penggiat lingkungan masih dianggap penghambat pembangunan. Ironis.
Bencana kekeringan juga akhir akhir ini semakin tinggi. Penyebabnya tentu saling terkait dengan yang diuraikan di atas.
***
Belum lagi masalah akses masyarakat terhadap sumber air bersih masih sangat minim. Diperparah lagi kesadaran masyarakat terhadap kebersihan sungai masih minim. Faktor utamanya kemiskinan yang menggerus kesadaran tersebut. Fakta menyebutkan kemiskinan justru memicu beragam masalah lingkungan khususnya sanitasi dan air bersih.
Dikutip dari salah satu media nasional, Pemerintah melalui Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Â mengatakan hingga kini akses air bersih masyarakat belum merata. Setidaknya, hingga akhir 2018 tercatat akses air bersih baru mengcover 72% wilayah Indonesia.
Ironisnya, pencapaian tersebut justru masih jauh dari target yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Dalam rencana tersebut mestinya seluruh masyarakat Indonesia harus memiliki akses terhadap air bersih.
Hal ironi lain, faktanya penguasaan sumberdaya air masih ditangan korporasi. Tengok air minum kemasan berlabel terkenal yang tak asing lagi dengan keseharian kita. Padahal air menguasai hajat hidup orang banyak yang mestinya rakyat mendapat akses dengan mudah.
Melalui momen hari air sedunia, saya ingin mengajak untuk mulai arif dalam memanfaatkan air dan melakukan konservasi air untuk masa depan makluk bumi.
Wallahualam.
Ditulis untuk memperingati hari air sedunia. 22 Maret 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H