Dengan kembali mengutip pernyataan Prof. Rokhmin Dahuri, memang harus diakui ada "gap" yang cukup lebar antara kinerja pertumbuhan makro ekonomi dengan fakta perubahan struktur ekonomi masyarakat Indonesia saat ini. Bayangkan dari sisi akses kepemilikan asset saja, kita tidak bisa pungkiri bahwa segelintir orang mampu menguasai nilai ekonomi hamper 80% kekayaan masyarakat Indonesia.Â
Bahkan, menurut para ahli ekonomi, sekitar 80% penguasaan asset di ibu Kota Jakarta dimiliki oleh para konglomerat berkantong tebal. Anda bayangkan dan bisa lihat sendiri, siapa yang miliki gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, yang bahkan secara kasat mata, anda akan saksikan disekitarnya kampung-kampung kumuh milik kaum marginal. Faktanya jurang stratifikasi sosial masih sangat tinggi.
Kebijakan Pemerintah terkait Sertifikasi Tanah untuk masyarakat, memang perlu diapresiasi dan di dukung, dalam upaya mendorong kemudahan terhadap kepemilikan asset. Perlu ada akselerasi agar dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama.
Angka gini ratio (rasio ketimpangan) memang ada penurunan sebesar 0,001 poin yakni dari 0,394 di tahun 2016 menjadi 0,393 di tahun 2017, namun angka gini yang masih pada level 0,3 adalah menandakan ketimpangan yang masih besar. Artinya, distribusi pendapatan memang faktanya tidak merata dan masih sangat lebar (lihat kutipan peryataan Prof. Rokhmin di atas).Â
BPS mencatat jumlah penduduk miskin tahun 2017 sebanyak 27,7 juta orang (10,64%), dari sisi tren memang menurun dari tahun sebelumnya, namun perlu dicatat bahwa pertumbuhan jumlah penduduk tiap tahun juga naik. Disisi lain standar pengukuran angka garis kemiskinan jika merujuk pada Bank Dunia (pengeluaran perkapita 2 USD per hari) dipastikan jumlahnya kategori penduduk miskin akan semakin banyak.
Pun demikian, indeks kualitas SDM penduduk Indonesia juga perlu mendapat perhatian. BPS mencatat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia 70.18. Angka ini menempatkan Indonesia pada peringkat 113 dari 180 negara di dunia atau trun peringkat dari tahun sebelumnya yang berada di peringkat 110.
 Pada level Asean, IPM Indonesia juga masih dibawah negara lain seperti Thailand (74), Malaysia (78,9), Brunai Darusalam (86,5) dan Singapura (92,5) (sumber : UNDP). Padahal kualitas SDM akan jadi penentu kemajuan suatu bangsa. Bank Dunia, mengingatkan bahwa kebijakan yang harus dipersiapkan suatu negara untuk menghadapi tantangan ekonomi global yakni mendorong kualitas SDM masyarakatnya. Reformasi system pendidikan memang menjadi keniscayaan untuk dilakukan. Pakar filsafat UI, Rocky Gerung, bahkan mengkoreksi bahwa ada yang salah dengan system pendidikan kita, yang terlalu berbasis "Knowing", bukan "Being".Â
Padahal kualitas SDM tidak hanya ditentukan oleh penguasaan pengetahuan akademik, namun paling penting adalah meng-eksplore potensi diri anak yang memang sudah melekat sebagai karunia Tuhan YME.
Kesimpulannya, tidak cukup mengukur keberhasilan suatu negara dengan melihat capaian-capaian kuantitatif makro ekonomi karena faktanya selama pergantian periode pemerintahan, capaian kinerja pertumbuhan ekonomi makro, seringkali tidak berbanding lurus dengan perbaikan kinerja struktur ekonomi masyarakat.Â
Tentu ada yang salah, karena faktanya madu pertumbuhan ekonomi tidak terdistribusi secara merata, namun perputarannya masih sentralistik pada penguasaan di tangan para pelaku ekonomi besar. Jika demikian, lantas untuk siapa pertumbuhan ekonomi itu?
Dalam pada ini, ada 2 (dua) pendapat yang saling bersebrangan, yakni sebenarnya apa yang harus pertama kali kita dorong, pertumbuhan ekonomi dulu atau pemerataan? Pemerataan ekonomi, tidak hanya diartikan sempit, bahwa negara seolah hanya berkewajiban memberikan semua kebutuhan masyarakat secara instan, namun lebih dari itu, bahwa negara perlu menjamin dan memfasilitasi masyarakatnya untuk berdaya dan produktif dengan memberikan berbagai kemudahan akses.Â