Maka Pilkada bukanlah sekadar ajang perlawanan untuk meraih kekuasaan, melainkan sebuah kompetisi gagasan untuk memajukan daerah. Dengan menjaga integritas, fokus pada program yang relevan bagi rakyat, serta membuka diri untuk kolaborasi pasca-Pilkada, persaingan politik dapat menjadi alat yang efektif untuk mencapai kesejahteraan bersama. Pada akhirnya, Pilkada yang sehat adalah Pilkada yang menghasilkan pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan positif bagi masyarakat, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai moral dan keadilan demokrasi.
Dalam filsafat politik Islam, konsep kepemimpinan dan proses politik tidak hanya dilihat dari aspek kekuasaan dan otoritas, tetapi juga dari nilai-nilai spiritual, moralitas, dan tanggung jawab kepada Allah serta umat. Pemikiran politik Islam mengajarkan bahwa tujuan utama politik adalah menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan ketertiban yang berlandaskan pada syariat dan akhlak mulia. Dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), prinsip-prinsip dalam filsafat politik Islam memberikan panduan yang relevan untuk membentuk proses politik yang lebih etis, inklusif, dan berorientasi pada kesejahteraan bersama.
Konsep Kepemimpinan dalam Islam: Al-Imamah dan Al-Khilafah
Dalam tradisi politik Islam, konsep al-Imamah (kepemimpinan) dan al-Khilafah (kekhalifahan) menekankan bahwa seorang pemimpin adalah khalifah atau wakil Allah di bumi yang bertugas untuk menegakkan keadilan dan melindungi umat. Dalam konteks Pilkada, setiap kandidat yang mencalonkan diri untuk posisi kepemimpinan harus menyadari bahwa mereka bukan hanya bertanggung jawab kepada rakyat, tetapi juga kepada Allah SWT. Oleh karena itu, persaingan politik dalam Pilkada harus dilakukan dengan cara yang etis, bertujuan untuk memilih pemimpin yang paling mampu menegakkan keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan bagi masyarakat luas.
Al-Mawardi, dalam karya klasiknya Al-Ahkam al-Sultaniyyah, menegaskan bahwa seorang pemimpin dalam Islam harus memiliki integritas moral yang tinggi, kemampuan untuk menegakkan syariat, serta komitmen terhadap kebaikan bersama. Ini berarti, dalam Pilkada, pemimpin yang dipilih haruslah mereka yang mampu menjadi teladan dalam hal akhlak dan kemampuan dalam memimpin. Persaingan dalam Pilkada tidak boleh merosot menjadi perpecahan atau kebencian, melainkan harus menjadi proses seleksi yang mendasarkan pada kejujuran, keadilan, dan kapasitas pemimpin untuk menegakkan nilai-nilai Islam.
Prinsip Syura dalam Pilkada: Konsultasi dan Partisipasi Publik
Salah satu prinsip dasar dalam politik Islam adalah syura atau konsultasi, yang diperintahkan dalam Al-Qur'an (Surah Al-Syura: 38) sebagai bagian integral dari pengambilan keputusan. Prinsip ini menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam memilih pemimpin dan menyuarakan aspirasi mereka. Dalam konteks Pilkada, syura mengajarkan bahwa proses pemilihan harus melibatkan rakyat secara langsung dan adil, dengan memberikan ruang bagi mereka untuk terlibat dalam diskusi tentang program, kebijakan, dan visi kepemimpinan.
Pilkada dalam perspektif syura adalah proses di mana dialog dan konsultasi antara calon pemimpin dan masyarakat menjadi landasan utama. Hal ini berbeda dengan pandangan bahwa Pilkada adalah ajang untuk berkompetisi semata. Syura menekankan pentingnya musyawarah sebagai sarana untuk memilih pemimpin yang tidak hanya populer, tetapi juga memiliki kapasitas untuk mendengarkan dan mewakili kehendak masyarakat secara luas. Oleh karena itu, persaingan dalam Pilkada seharusnya didasarkan pada diskusi terbuka tentang program-program yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat, bukan sekadar mencari kemenangan pribadi.
Keadilan sebagai Pilar Politik Islam: Pandangan Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun, seorang filsuf dan sejarahwan Islam terkemuka, menekankan bahwa keadilan adalah pilar utama dalam politik dan pemerintahan. Menurutnya, masyarakat hanya dapat makmur jika dipimpin oleh pemimpin yang adil dan berkomitmen untuk menegakkan keadilan sosial. Dalam konteks Pilkada, pemikiran Ibn Khaldun sangat relevan karena mengingatkan bahwa tujuan utama dari proses politik adalah memilih pemimpin yang mampu menjaga keseimbangan sosial dan memastikan bahwa hak-hak setiap individu dihormati.
Ibnu Khaldun menegaskan bahwa keadilan bukan hanya tanggung jawab pemimpin setelah terpilih, tetapi juga harus menjadi prinsip yang mendasari seluruh proses pemilihan itu sendiri. Pilkada yang adil berarti setiap kandidat bersaing secara transparan, menghormati aturan, dan menghindari praktik-praktik yang merugikan masyarakat, seperti politik uang, intimidasi, atau manipulasi suara. Selain itu, masyarakat juga memiliki tanggung jawab untuk memilih pemimpin yang berkomitmen pada nilai-nilai keadilan, bukan mereka yang hanya menawarkan janji-janji kosong atau keuntungan jangka pendek.