"Menurutku Saman itu justru strukturnya jelek banget, novel yang tidak selesai," jawab Ayu. Novel itu dibuat Ayu untuk mengikuti sebuah perlombaan. Panjang ceritanya disesuaikan dengan syarat lomba. Tapi menyoal kelebihannya, Ayu mengatakan ada pada per bagian yang berhasil.
Bila memperbandingkannya, Saman adalah sebuah novel yang manis. Bilangan Fu tidak demikian. Saman dimulai dengan jatuh cinta: Laila jatuh cinta pada suami orang. Bilangan Fu bercerita tentang seorang lelaki pendaki bukit yang garang, tidak puitis.Â
Karakter pencerita yang berbeda membuat Bilangan Fu tidak bisa terlalu puitis, meski kata Ayu, tidak seratus persen kehilangan puitisnya. Ada bagian ketika lelaki pendaki yang keras itu bercerita dengan indah dan lembut. "Karakter penceritanya berbeda, risiko itu saya ambil sehingga tidak terlalu puitis."
Rupanya Miko Toro masih penasaran. Dia bertanya apakah semua tulisan Ayu itu hasil perenungan? Kalau ya, renungan seperti apa? Apakah soal agama semata, fundamentalisme, atau seks yang berkaitan dengan keduanya?
"Saya dulu sangat religius. Keluarga saya konservatif tapi membebaskan anaknya menikah dengan beda agama, asal tidak dengan komunis." Hahaha... lucu juga. Di usia 20-an awal, Ayu mulai tak percaya agama. Alasannya, lebih banyak mudaratnya, patriakal, dan terkesan saling memusuhi antaragama. Ketika mahasiswa, ia bahkan memutuskan untuk menjadi seorang Agnostic.
Di usia 20-an akhir, ia mulai melihat agama dengan kacamata baru: sebuah kenyataan peradaban. Bergulat dengan semua itu, agama, ketidakadilan, moralitas berlebihan, Ayu akhirnya "terjebak" untuk selalu menulis tiga tema: seks, kegilaan, dan agama. Ia tak bisa memungkiri kalau bahasa Alkitab sangat berpengaruh pada dirinya. "Meski benci agama pada satu periode, tapi agama sudah batubata dalam diriku." Itulah fakta sejarah yang tidak bisa dihilangkan Ayu Utami dalam dirinya.
Di level peradaban, meski berdarah-darah, Ayu tetap tak bisa memungkiri kalau agama juga membangun peradaban. Baginya, agama adalah energi yang bisa membuat orang mengasihi atau membunuh orang lain.Â
Pembelaan kaum beragama yang mengatakan kesalahan tidak pada agamanya, tapi pada orang yang menafsirkannya, dianggap Ayu sah-sah saja. Hanya saja dia tetap belum mendapat jawaban: Kenapa harus ada agama, kalau tidak bisa mentransfer orang menjadi lebih baik?
Adakah yang bisa menjawab dan memuaskan seorang Ayu Utami?
Kamis, 6 Agustus 2009
Dari Diskusi Klub Buku dan Film SCTV
Penulis: Leanika Tanjung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H