Mohon tunggu...
Aini Lutfiyah
Aini Lutfiyah Mohon Tunggu... lainnya -

Less is More

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pernikahan Gerhana (16)

11 September 2012   13:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:37 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

BAB XII

JACOB

Kota masih seperti beberapa bulan lalu saat aku pergi ke Wacola bersama Janet. Hanya beberapa yang berubah. Beberapa menit tadi siang aku pergi ke toko baru dimana Tan Yin Yang menjadi manajernya. Terkejut lalu menampar pipiku adalah menjadi salam pertamanya.

"Kau, gadis hutan ! Bagaimana kabarmu ? Wah, jelek sekali kau sekarang...." Katanya sambil memundurkan tubuhnya untuk lebih dapat mengamati tubuhku.

"Tidak adakah sambutan yang lebih hangat buatku ?" Kataku.

" Ha ha ha ! Ya, Tidak lama lagi kau yang akan mengurus toko ini. Aku dan Rio setelah menikah akan menikmati bulan madu kami.Hmm, ngomong-ngomong...Kau bagaimana ? Sudah mendapatkan pria Wacola ?"

"Belum. Bekerja dulu saja. Uangku sudah banyak terpakai..."

" Oh ya, bagaimana....? Kata Annie kau di Wacola sambil menulis, kan ?"

" Ya, sih.."

"Ada baiknya kau menemui seseorang yang bisa mengoreksi tulisanmu.Mudah-mudahan bisa masuk penerbit."

"Boleh juga. Tapi aku akan ke Lanzones dulu. Mungkin baru bulan depan ke sini lagi. Itu pun kalau masih ada lowongan buatku disini..."

"Kau seperti dengan siapa, Marie...? Eh, Marie..Kau sudah makan ?"

"Ini baru mau."

"Makanlah denganku. Jangan menolak ! Uangmu pasti sudah banyak yang terpakai."

"Sialan !" Tan Yin Yang cuma terkekeh mendengar umpatanku.

***************

Suasana malam di kota aku lewatkan dengan berjalan-jalan di pusat kota. Naik komidi putar, mencoba permainan-permainan yang sebenarnya untuk anak-anak.....lalu mendapatkan hadiah boneka kecil. Sedikit mengisi waktu luangku. Berjalan-jalan ke toko pusat jual beli alat komunikasi. Seperti saran dari Roma atau Amor dan memang itu yang sudah aku janjikan kepadanya, memiliki alat komunikasi pribadi. Tidak salah juga kalau aku membelinya satu.

Kaki penat sebelum kembali ke hotel, kakiku melangkah ke sisi  food court. Memesan beberapa jenis makanan dan mengambil posisi duduk di salah satu sudut. Aku benar-benar ingin menikmati malam ini secara pribadi. Tempat ini lumayan ramai dan hanya tinggal satu meja yang kosong saat aku mengisi satu meja disitu. Namun itu tak lama karena aku perhatikan ada seorang ibu yang beberapa bagian rambut di kepalanya sudah berubah warna bersama, dengan bisa jadi itu adalah suami dan anaknya.

Tapi mengapa ia menunjuk kursi yang ada di mejaku ini ? Ya, ampun....dua kursi disana dipenuhi dengan tas kertas belanjaannya. Mengapa itu tidak diletakkan di bawah atau dititipkan di pintu masuk ?Nah, nah...Itu pasti anaknya. Ia disuruh oleh Ibunya untuk mengambil kursi-kursi di mejaku ini.Pertama ia meminta izin kepada para gadis muda karyawan food court ini tapi.....wow,Ibunya ikut masuk ke pembicaraan itu dan tangannya menunjuk ke mejaku. Sekarang pemuda yang penakut pada ibunya itu mendekati mejaku.

"Maaf, bukankah kursi-kursi ini tidak terpakai ?" Tanyanya.

"Betul. Kursi-kursi itu kosong."

"Akan saya bawa ke meja saya di sana..."

"Lho, bukankah disana sudah ada kursinya ?"

"Ya, tapi semua penuh...."

"Tidak janji juga kalau kursi itu penuh dengan barang hasil belanja. Mengapa barang-barang itu tidak dititipkan di petugas di pintu depan ?"

"Ini aku ambil, ya? Itu Mami saya sudah memanggil...." Katanya lagi. Ibunya memang sudah menunjukkan jarinya ke arah mejaku. Dua kali ia bolak-balik ke mejaku. Tapi mengapa ia balik lagi ke mejaku ?"

"Maaf, kata Mami tidak baik seorang gadis makan malam seorang diri. Bagaimana kalau kau juga bergabung ke meja kami ? Aku bawakan makanan-makananmu...." Katanya sambil mengambil dua buah  piring dan  satu gelas yang ada di depanku. Tak lama ia balik lagi.

"Ayo, Kalau Ia marah itu bisa membuat suasana lebih runyam. Ayo...." Aduh, mau tidak mau. Ketika sampai di mejanya, Ibu itu memperhatikan mangkuk yang masih aku pegang.

"Oh, kau suka sup jamur ? Jacob pesankan lagi dua mangkuk sup jamur untuk gadis ini. Kau menyukainya, ya ? Tapi kalau aku lebih suka sup jagung. Menurutku itu lebih enak daripada sup jamurmu itu. Jacob, kau pesankan juga sup jagung untuk gadis ini......" Tak lama kemudian empat mangkuk sup telah terhidang di depanku.

"Kau habiskan, ya ?Oh ya, mengapa kau tidak kesini bersama kawan-kawanmu ? Pasti tidak enak jika makan seorang diri." Ibu itu kembali menikmati makanan di depannya. Namun ia menoleh lagi ke arahku.

"Namamu siapa ?" Wow, ia butuh namaku juga ternyata.

"Marie."

"Marie. Nama bagus. Kalau itu anakku.Namanya Jacob dan ini ayahnya." Jacob tersenyum ke arahku. Aku seperti pernah melihat wajah seperti itu. Ah, tapi itu tidak mungkin dan itu tidak begitu penting. Hal terpenting, seperti kata Jacob, adalah bagaimana agar aku bisa menghabiskan empat mangkuk sup di depanku agar ibunya tidak merasa kecewa.

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun