"Kau itu, mau mati saja banyak mulut."
Tatapannya  meredup. Ia mulai menyadari tentang ketidaknyamananku, meskipun  sebenarnya aku merasa wajar dengan perilakunya. Pria itu pasti sudah  lama tidak menikmati hubungan intim. Terlebih lagi dia adalah pria  dewasa yang sudah tiga tahun lebih bercerai dari istrinya. Tunggu!  Istri? Kenapa aku harus membahasnya lagi. Tidak ada istilah istri maupun  suami di dalam hubungan yang pernah terjalin dengan penuh kepalsuan.
"Mar, aku tahu kamu membenciku. Tapi, izinkan aku memelukmu sebentar saja."
Aku  terdiam. Sebenarnya bukan dia saja yang merasa rindu. Terkadang aku  ingin menepis kenyataan bahwa dia adalah seorang teroris yang harus mati  di tanganku.
Kucoba untuk menyembunyikan sepucuk senjata api yang  tadi kutodongkan ke dalam saku. Raut wajahnya terlihat lega. Tak  kudapati tanda-tanda perlawanan yang mungkin dapat membuatku celaka. Ia  mendekapku, lalu menggenggam tanganku erat. Darah yang mengucur tak mau  berhenti hingga tumpah membasahi bajuku. Ia tak peduli. Didekatkannya  bibir pucat itu pada bibirku. Kami berciuman. Kubuka bibirku agar  lidahnya mudah masuk ke dalam rongga mulut. Rasanya sudah lama sekali  tak begini sejak tiga tahun kami berpisah. Kenikmatan yang tak biasa  mulai menjalar ke seluruh tubuh. Fantasiku terasa bermain dalam  bayang-bayang kenikmatan aroma tubuh lawan jenis.
Namun, aku  merasakan aura yang sangat aneh. Aura ini begitu pekat. Terasa seperti  saat aku menodongkan pistolku kepada musuh. Sebilah pisau serbaguna ia  keluarkan dari lengannya. Sudah kuduga jika pria itu ingin membunuhku.  Mantan suamiku yang licik itu harus segera kusingkirkan. Tak kutunjukan  keterkejutanku dengan senjata tajam yang telah dipersiapkannya. Perlahan  kuraih senjata api di dalam sakuku. Kami masih berciuman. Namun kedua  tangan kami mencoba mencari celah dalam melukai. Dan seketika... .
"Dor... ."
Satu tembakan tepat mengenai dada sebelah kiri pria itu. Pisaunya terjatuh bersamaan dengan tubuhnya yang terkapar.
"Ka... kau... kau menang, Mar. Sudah kuduga. Selamat ha ha ha."
Jantungku  lagi-lagi tak mampu menahan gejolak amarah. Pria itu perlahan  menghembuskan nafas terakhirnya tanpa banyak kata. Sungguh, ini adalah  kematian yang menyakitkan. Tak banyak hal yang kita bicarakan. Hanya  kata ejekan melalui tertawanya yang sama sekali tidak lucu.
Kudekati  mayat mantan suamiku. Tak ada respon. Kulitnya juga terasa dingin. Tak  ada lagi hangat kehidupan yang kini berdenyut dari nadinya. Kucoba untuk  melakukan pengecekan medis berkali-kali, namun sia-sia.