Kali ini komunikasinya lebih menarik, mungkin karena sudah merasa dewasa dan sudah tahu siapa yang cocok untuk diajak berkomunikasi.
Gayung bersambut, kami kembali bertemu di kampung pada momen tertentu.Â
Bercanda beberapa kali. Tangan nakalku saat itu sebenarnya ingin menggeser rambutnya panjangnya yang sesekali dihempaskan angin.Â
Tapi kembali kepada kesadaran bahwa siapalah hamba dan tak sopan juga, belumlah pikirku singkat.
Kehangatan itu berlanjut saat kembali ke tempat kuliah masing-masing.Â
Komunikasi lancar dan rayuan maut bertubi-tubi menyerangnya baik lewat media sosial atau komunikasi lewat telepon.
Akhirnya kami memutuskan untuk mengenal lebih jauh.
 Ada kesiapan batin sekaligus mimpi untuk mengarahkannya kepada yang jauh lebih real.
Kita LDR. Dua tahunan bersama.Â
Sifat dan perilakunya sangat sesuai dengan apa yang menjadi bahasa diriku.Â
Sejauh ini belum ada yang mampu mengerti diriku selain dia, setidaknya itulah penilaianku.