Kontrakan tempat mereka tinggal sungguh sederhana, kecil tanpa lemari es yang sudah mereka inginkan. Hanya televisi dan lemari tempat baju yang ada sebagai harta berharga mereka. Di malam hari mereka menggelar selimut di ruang tengah dan berbaring mencoba menenangkan diri dengan menonton televisi. Mereka belum siap untuk tidur. Mereka sudah pernah mencobanya sekali, tapi belum bisa, sehingga sekarang mereka hanya berpelukan dan mengobrol tentang punya anak lagi dan suatu saat nanti punya rumah sendiri. Mereka berpura-pura masalahnya tidak terlalu berat. Mereka saling berhati-hati, untuk tidak membicarakan kesedihan atau perasaan kehilangan segalanya.
Sambil berbaring dalam selimut, mereka akan bergiliran memikirkan nama untuk anak-anak yang mereka inginkan-kadang nama yang lucu agar mereka tertawa-dan lalu mereka akan merencanakan isi rumah baru mereka, karpet mahal yang akan mereka beli, lampu kuning antik, marmer indah untuk dindingnya, warna keramik yang akan dipasang, dan tentu saja lemari es yang mereka idamkan. Semuanya diobrolkan dengan rinci, bagaimana nanti mereka punya teras rumah yang luas yang akan ditanami bunga-bunga penuh warna. Dan tak ketinggalan impian sebuah ruang pustaka dengan rak buku tinggi dari kayu jati dengan tangga gesernya. Betapa sempurna rasanya impian mereka.
Dalam kegelapan tak jadi soal bahwa barang-barang itu mahal dan mustahil dimiliki. Masa itu adalah masa yang sangat sulit dalam hidup mereka dan mereka sungguh sangat merindukan kebahagiaan. Mereka mendambakaanya tanpa tahu seperti apa atau di mana mencarinya, yang membuat mereka semakin ingin mendapatkannya. Terkadang mereka membuat daftar tempat-tempat romantis untuk dikunjungi, sekedar berangan-angan.
"Bali," kata Ika, "aku ingin tinggal beberapa hari di pulau Bali." Dan lalu mereka akan mengobrol panjang lebar tentang Bali, apa saja yang akan mereka lihat dan lakukan, berusaha menjadikannya nyata dalam benak mereka.
"Kita akan menemukan hal-hal baru yang menyenangkan," kata Ika, "mimpi-mimpi baru. Benar 'kan?" Ika menunggu sejenak sambil menatap Yanto. "Benar 'kan?" Yanto berusaha mengangguk.
"Kita akan melakukannya," kata Ika. "Kita akan membuatnya nyata."
"Tentu," kata Yanto. "Kita akan baik-baik saja."
"Lebih dari sekedar baik-baik saja."
"Ya, lebih dari baik-baik saja."
Kemudian, Yanto memejamkan matanya dan melihat gunung putih besar runtuh dan longsor menimpanya.
Perasaan telah kehilangan segalanya kembali merasuk. Tapi, ia masih bisa berpura-pura tersenyum pada Ika. Dalam gemuruh hatinya, ia bisa merasakan detak jantung Ika, nafas wanita itu di pipinya. Beberapa lama kemudian, Ika membalikkan badan dan menciumnya, sambil menggoda, lidahnya menggelitik telinga Yanto yang agak mengesalkan, tapi itu berarti Ika masih menyayanginya dan menginginkannya berkonsentrasi memikirkan semua hal yang masih mereka miliki atau suatu saat mereka bisa miliki.