Mohon tunggu...
Lazione Budy Poncowirejo
Lazione Budy Poncowirejo Mohon Tunggu... -

Saoirse. Lazio. Chelsea. Chess. Music. Movie.\r\n\r\nthe Wolverine!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Badai Pasti Berlalu

25 November 2012   08:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:42 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kontrakan tempat mereka tinggal sungguh sederhana, kecil tanpa lemari es yang sudah mereka inginkan. Hanya televisi dan lemari tempat baju yang ada sebagai harta berharga mereka. Di malam hari mereka menggelar selimut di ruang tengah dan berbaring mencoba menenangkan diri dengan menonton televisi. Mereka belum siap untuk tidur. Mereka sudah pernah mencobanya sekali, tapi belum bisa, sehingga sekarang mereka hanya berpelukan dan mengobrol tentang punya anak lagi dan suatu saat nanti punya rumah sendiri. Mereka berpura-pura masalahnya tidak terlalu berat. Mereka saling berhati-hati, untuk tidak membicarakan kesedihan atau perasaan kehilangan segalanya.

Sambil berbaring dalam selimut, mereka akan bergiliran memikirkan nama untuk anak-anak yang mereka inginkan-kadang nama yang lucu agar mereka tertawa-dan lalu mereka akan merencanakan isi rumah baru mereka, karpet mahal yang akan mereka beli, lampu kuning antik, marmer indah untuk dindingnya, warna keramik yang akan dipasang, dan tentu saja lemari es yang mereka idamkan. Semuanya diobrolkan dengan rinci, bagaimana nanti mereka punya teras rumah yang luas yang akan ditanami bunga-bunga penuh warna. Dan tak ketinggalan impian sebuah ruang pustaka dengan rak buku tinggi dari kayu jati dengan tangga gesernya. Betapa sempurna rasanya impian mereka.

Dalam kegelapan tak jadi soal bahwa barang-barang itu mahal dan mustahil dimiliki. Masa itu adalah masa yang sangat sulit dalam hidup mereka dan mereka sungguh sangat merindukan kebahagiaan. Mereka mendambakaanya tanpa tahu seperti apa atau di mana mencarinya, yang membuat mereka semakin ingin mendapatkannya. Terkadang mereka membuat daftar tempat-tempat romantis untuk dikunjungi, sekedar berangan-angan.

"Bali," kata Ika, "aku ingin tinggal beberapa hari di pulau Bali." Dan lalu mereka akan mengobrol panjang lebar tentang Bali, apa saja yang akan mereka lihat dan lakukan, berusaha menjadikannya nyata dalam benak mereka.

"Kita akan menemukan hal-hal baru yang menyenangkan," kata Ika, "mimpi-mimpi baru. Benar 'kan?" Ika menunggu sejenak sambil menatap Yanto. "Benar 'kan?" Yanto berusaha mengangguk.

"Kita akan melakukannya," kata Ika. "Kita akan membuatnya nyata."

"Tentu," kata Yanto. "Kita akan baik-baik saja."

"Lebih dari sekedar baik-baik saja."

"Ya, lebih dari baik-baik saja."

Kemudian, Yanto memejamkan matanya dan melihat gunung putih besar runtuh dan longsor menimpanya.

Perasaan telah kehilangan segalanya kembali merasuk. Tapi, ia masih bisa berpura-pura tersenyum pada Ika. Dalam gemuruh hatinya, ia bisa merasakan detak jantung Ika, nafas wanita itu di pipinya. Beberapa lama kemudian, Ika membalikkan badan dan menciumnya, sambil menggoda, lidahnya menggelitik telinga Yanto yang agak mengesalkan, tapi itu berarti Ika masih menyayanginya dan menginginkannya berkonsentrasi memikirkan semua hal yang masih mereka miliki atau suatu saat mereka bisa miliki.

"Nah," kata Ika, "sekarang kita bahagia."

"Bahagia," timpal Yanto ragu.

Ini hanyalah masalah keyakinan. Masa depan tampak begitu sulit dihadapi. Ada rasa lelah dan marah, tapi lebih dari segalanya adalah kehampaan akibat rasa tidak percaya diri.

Sambil berbaring diam, Yanto menyaksikan langit-langit kontrakannya. Ada bayang yang terlintas di atas seperti kabut yang melayang. Pikiran itu muncul seperti foto di kepalanya, sebuah gunung putih besar yang telah didakinya sepanjang hidup dan ia sekarang menyaksikan gunung itu runtuh ke arahnya, semua tragedi itu masih terasa nyata. Ia memaksakan diri untuk tidak memikirkannya, tetapi selalu saja terpikir kembali. Rasanya muak dan ia ingin meneriakkan hal terburuk yang bisa diumpatkan-bang**t!--dan betapa ia tak bisa menghentikannya dan tak bisa berfikir jernih dan tak bisa berhenti meneriakkannya dalam kepala--bang**t!--karena tak ada yang bisa dilakukannya, karena segalanya begitu brutal, dan muak.

Terkadang ia merasa gila. Benar-benar gila. Saat malam mulai larut, ia bisa merasakan amukan pembunuh di dalam dirinya. Ia tak bisa memendamnya, tapi tak bisa juga melampiaskannya. Ia ingin menyakiti sesuatu, menyambar pisau mulai memotong dan menebas tanpa henti. Semua perjuangannya selama bertahun-tahun, menikah dengan wanita yang dicintainya. Memimpikan masa depan yang gemilang, namun segalanya runtuh hanya dalam semalam.

Yanto menggelengkan kepala pelan dan sepintas terdengar jingle iklan di televisi yang mereka hiraukan. Malam ini dingin, seekor ngengat terbang berputar-putar di sekitar lampu ruangan. Lupakan saja, batinnya. Jangan berfikir.

Lama kemudian, setelah mulai berfikir lagi ia memeluk Ika erat-erat. "Bali," bisiknya dengan yakin, "Kita akan ke sana. Hotel mewah, debur pantai, wisata lengkap."

"Kau janji?"

"Tentu saja," katanya. "Aku janji."

Ika tersenyum mendengarnya. Yanto tak melihat senyum itu, tapi ia bisa mendengarkannya dari suara Ika saat ia berkata, "Aku ingin bersamamu selamanya dalam suka ataupun duka."

Kemudian diambilnya remote televisi lalu ditekannya tombol off. Mereka diam lama sekali dan berbaring dalam sunyi, menunggu hal-hal terjadi, sebuah keajaiban terjadi mendadak. Yang mereka inginkan hanyalah agar hidup mereka kembali menyenangkan seperti sediakala.

"Aku tidak menangis," Ika memecah kebekuan.

"Tentu saja kau tak menangis."

"Ini hanyalah masa yang menyebalkan, cuma itu. Masalah bodoh yang harus kita lalui." Ika terisak.

"Bodoh!"

"Sayang, maafkan aku, kadang kata-kata yang kuucapkan keliru. Padahal yang kumaksud adalah--engkau pun tahu--maksudku, aku memiliki lelaki yang kucintai dan aku ingin bahagia. Hanya itu yang penting bagiku, bukan yang lain. Kau cinta padaku kan?"

"Lebih dari segalanya."

"Sepenuh hatimu?"

"Sepenuh hatiku," balas Yanto mantab.

"Bahagia," kata Ika. "Hanya itu yang kuinginkan darimu."

Mereka berpelukan erat dalam sunyi. Sejauh yang diingatnya waktu tengah malam sudah lewat. Ika mematikan lampu, berguling ke samping suaminya dan berujar dengan nada nyaris gembira, "Waktunya untuk bermimpi."

Karawang, 251112

Hidup ini singkat, selamat jalan bidadari kecilku: Najwa Saoirse Budiyanto. Ayah dan bunda akan selalu merindukanmu. Huge tight.

Diedit dari note fb saya: http://www.facebook.com/notes/lazione-budy/badai-pastikah-berlalu-30-hari-bermimpi/10150339721398196

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun