“Maukah kamu menjadi istriku?”, terbayang cincin lamaranku yang masih di kamar.
“Ya aku bersedia, tapi bukankah kita
sudah sepakat untuk bertatap muka jika kita membicarakan sesuatu yang penting?
Kurasa momen ini sangat penting jika dibicarakan lewat telepon, jadi sebaiknya
kita bertemu di kampus siang ini setelah kamu sidang skripsi”
“Itu adalah rencana kita, tapi
apakah nanti kita masih bisa bertemu? Aku tidak tahu, aku hanya mau bilang betapa aku mencintaimu
dan aku ingin hidup bahagia selamanya denganmu”
“Kita pasti bertemu, aku juga mencintaimu”
Kututup telepon, kupejamkan
mata ini, kuputar ganggang pintu. Pintu terbuka, dengan kepasrahan hati perlahan kubuka mata.