Semakin hari kita semakin disesakkan dengan pengaduan Gen-Z yang bertebaran di media sosial perihal kerapuhan mental dan banyaknya permasalahan mereka. Mulai dari masalah keluarga, percintaan, pendidikan, hingga masalah dalam diri mereka sendiri. Banyak yang merasa tidak puas dengan keadaannya, tidak menemukan makna dan tujuan hidup, merasa tidak berguna hingga berujung pada depresi dan semakin tingginya angka bunuh diri di kalangan Gen-Z. Maka tidak heran kalau Gen-Z dikenal dengan berbagai julukan yang mungkin terlalu negatif, seperti generasi strawberry, si paling healing, si paling manja, si paling stres, dan julukan-julukan negatif lainnya.
Gen-Z merujuk pada sekelompok individu yang lahir sekitar tahun 1997 sampai awal tahun 2012 ini mendominasi dengan jumlah sekitar 74,93 juta jiwa, atau 32% dari total penduduk dunia. Gen-Z adalah generasi yang tumbuh diera perkembangan teknologi yang begitu pesat, mereka tumbuh dalam keberagaman budaya yang lebih luas dan akses tak terbatas pada informasi. Dalam buku strawberry generation disebutkan, bahwa Gen-Z adalah generasi yang memiliki banyak ide cemerlang dan kreatifitas yang tinggi. Namun, disaat yang bersamaan generasi ini juga dikenal mudah menyerah, sakit hati, lamban, egois, dan pesimis terhadap masa depan. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk pulih setelah mengalami tekanan atau kesulitan. Layaknya buah strawberry yang terlihat menarik dari luar tetapi cepat hancur ketika menghadapi tekanan. Teknologi yang berkembang begitu pesat menghadirkan kenyamanan hampir disemua bidang yang membuat Gen-Z kalah dalam hal kegigihan dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Ditengah banyaknya kemudahan itu, mereka dihadapkan dengan tantangan yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Mulai dari tekanan sosial, biaya hidup yang terus meningkat, hingga kondisi lingkungan yang mengkhawatirkan. Namun, tantangan terbesar yang berpotensi merenggut nyawa mereka adalah sulitnya menemukan makna hidup yang mendalam ditengah arus informasi yang terus mengalir. Media sosial tidak hanya sebagai platform untuk berkomunikasi dengan orang lain, tapi juga mampu membentuk harapan dan ekspektasi terhadap diri sendiri, orang-orang di sekitar kita, dan hampir dalam segala aspek kahidupan. Postingan sisi terbaik kehidupan orang lain yang sudah diedit sedemikian rupa bertebaran di beranda media sosial kita. Sehingga media sosial seringkali menjadi tempat perbandingan diri yang membuat kita ingin terlihat sempurna dimata publik.
Derasnya arus kapitalisme yang memandang kesuksesan seseorang hanya dari seberapa banyak materi yang ia miliki membuat tujuan hidup masyarakat modern begitu dangkal, hanya seputar mencari lebih banyak teman, lebih banyak uang, lebih banyak barang, lebih banyak materi, dan lebih banyak followers. Tujuan ini tidak memiliki makna mendalam yang membuat kita merasa benar-benar hidup. Ketika kita tidak bisa memenuhi standar kesuksesan yang kadang tidak realistis kita akan merasa gagal, tidak berguna, dan mulai mempertanyakan identitas diri kita. Untuk apa kita diciptakan? Apa makna dibalik kehidupan kita yang terasa begitu membosankan? Apakah ada hal berharga dalam diri kita? Dan masih banyak pertanyaan lainnya.
Gen-Z adalah pencari identitas yang tenggelam dalam dunia yang begitu kompleks, mencoba mencari jawaban di lautan pertanyaan yang tidak berujung. Namun, krisis identitas inilah yang menjadi akar masalah mental yang dialami Gen-Z. Karena orang yang mengalami krisis identitas seringkali akan menghabiskan waktunya untuk mengejar pengakuan dan penghargaan dari orang lain. Katika tidak menemukan makna mendalam akan hidupnya, ia akan menggantungkan kebahagiannya pada penilaian orang lain. Sayangnya, menggantungkan harapan kepada manusia adalah seni terbaik untuk terluka. Maka tidak jarang Gen-Z mengalami kekecewaan, pengkhianatan, dan kesepian mendalam yang menjadi awal meningkatnya gangguan kesehatan mental.
Dalam survei terbaru I-NAMHS (Indonesia National Adolescent Mental Health Survey) tahun 2022 menemukan 5,5% atau sekitar 1 dari 20 orang Gen-Z didiagnosis memiliki gangguan kesehatan mental, biasa disebut orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Sekitar 34,9% memiliki setidaknya satu masalah kesehatan mental yang digolongkan orang dengan masalah kejiwaan (ODMK). Mengacu pada pada kementrian dalam negeri, jumlah Gen-Z di Indonesia mencapai 46,2 jt jiwa. Maka dengan presentase survei diatas jumlah ODGJ sebanyak 2,54 juta orang dan 16,1 juta tergolong ODMK. Angka ini tergolong sangat besar dan memprihatinkan.
Sementara dalam survei yang dilakukan oleh peneliti FKKMK-UGM yang bekerja sama dengan The University of Queensland, Australia, menemukan bahwa gangguan cemas atau yang dikenal dengan anxiety merupakan gangguan mental yang paling banyak dialami, mencapai 26,7%. Masalah terkait pemusatan perhatian mencapai 10,6%, depresi 5,3%, masalah perilaku 2,4% dan stres pascatrauma 1,8%. Bahkan 1,4% dari mereka melaporkan bahwa mereka memiliki ide untuk bunuh diri, 0,5% telah membuat rencana bunuh diri, dan 0,2% telah melakukan percobaan bunuh diri hanya dalam 12 bulan terakhir.
Melihat begitu tingginya angka gangguan kesehatan mental disebabkan krisis identitas ini, maka modernisme dinilai telah gagal memberikan kehidupan yang bermakna kepada manusia, terutama Gen-Z yang sedang dalam proses pencarian jati dirinya. Modernisme memang memberikan banyak kemudahan dan kenyamanan, namun disaat yang bersamaan juga meninggalkan kekosongan, kehampaan dan keputusasaan dalam menjalani hidup. Meskipun demikian, modernisme sudah mengakar dalam kehidupan kita sehingga mustahil untuk ditinggalkan. Maka solusi terbaik dalam menghadapi kebingungan ini adalah dengan menghadirkan nilai-nilai spiritual ditengah kebisingan teknologi. Karena salah satu fungsi pokok dari agama adalah memberikan makna hidup bagi penganutnya. Dan tasawuf adalah kendaraan untuk mencapai tujuan itu. Untuk menjadi manusia berdaya yang hidupnya penuh makna.
Namun seringkali ketidaksesuaian anatara tasawuf dengan modernisme ini menjadi penyebab tsawuf dianggap tidak lagi relevan dengan kehidupan manusia modern. Tasawuf identik dengan penekanan dalam peribadatan individu, sehingga para sufi terdahulu tidak tertarik memikirkan masalah-masalah sosial dan cenderung menarik diri dari lingkungannya. Sa'id Ramadhan Al-Buthi mengutarakan konsep Ruhaniyyah al-ijtima'iyyah atau spiritualisme sosial yang mengecam gaya hidup seperti itu karena akan membuat islam tersisih dari kehidupan sosial. Tasawuf dikenal lebih banyak membahas hubungan spiritual individu dengan Tuhan, hampir tidak ada ruang bagi kehidupan sosial dengan segala permasalahannya.
Para sufi identik dengan orang-orang yang tinggal di masjid, fokus beribadah, tidak memiliki pekerjaan, dan menghindari interaksi sosial. Mengetahui konsep seperti ini, saya rasa Gen-Z akan berbalik arah dan memilih kembali pada dunianya sendiri. Kiblatnya para sufi adalah Rasulullah SAW dan beliau sempurna dalam segala aspek kehidupan. Rasulullah mengubah tatanan sosial bangsa Arab dan hampir seluruh dunia dengan begitu hebatnya sampai beliau disebut sebagai orang pertama yang paling berpengaruh di dunia dalam buku Michael H. Hart yang berjudul 100 Most Influence People in the World.
Oleh karena itu, seorang ulama dan pemikir pembaharu islam yang berasal dari Pakistan, Fazlur Rahman, mengemukakan gagasan baru yang dikenal dengan istilah Neo-Sufisme. Neo-Sufisme adalah Reformed sufism atau sufisme yang diperbaharui sebagai upaya penegasan kembali nilai-nilai islam yang utuh, yaitu kehidupan yang seimbang dalam segala aspek dan dalam segi ekspresi kemanusiaan. Neo-Sufisme tidak seluruhnya baru, namun lebih tepatnya sufisme yang diaktualisasikan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat sesuai dengan kondisi saat ini.
Neo-Sufisme berprinsip pada khudz ma shafa, da' ma qadara (ambil yang baik dan buang yang buruk) dan dalam kaidah ushul fiqh, al-muhafadzah 'alal qadim as-shalih, wal akhdzu bil jadid al-ashlah (mengadopsi capaian generasi lama yang baik dan membangun capaian baru yang lebih baik). Artinya Neo-Sufisme mengajak kita untuk hidup dalam keseimbangan, ikut serta dalam perkembangan modernisme tapi tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utama dan mengajak kita untuk berperan aktif dalam memajukan pendidikan, ekonomi, dan politik umat, terutama Gen-Z yang akan menjadi penerus generasi.
Neo-Sufisme mengembalikan makna hidup mendalam yang telah lama direnggut oleh kapitalisme. Zuhud tidak lagi bermakna menjauhi dunia, tapi menggunakan dunia sebagai kendaraan menuju kebahagiaan akhirat. Uzlah bukan berarti menyendiri dan menghindari interaksi sosial, tetapi memilih circle yang baik, bergaul bersama orang-orang yang mampu mendekatkan kita pada kebaikan.
Manisnya iman dan cinta tidak hanya untuk orang yang berada dalam redupnya tempat ibadah saja, tapi juga berhak dirasakan oleh generasi muda yang berada dalam bisingnya dunia kerja. Qona'ah menjadi solusi terbaik ditengah ekspektasi tidak realistis yang dibebankan pada generasi ini. Keyakinan bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya mampu menjadi obat paling manjur bagi kekecewaan demi kekecewaan yang kita rasakan. Kasih sayang dan cinta-Nya selalu menjadi tempat pulang yang paling nyaman untuk menumpahkan segela kesedihan. Kekosongan dan rasa putus asa yang berakhir pada keinginan mengakhiri hidup akan terselamatkan dengan pintu maaf-Nya yang senantiasa terbuka.
Mari menjadi generasi muda yang mampu bersaing dengan arus modernisasi dan mengerti tujuannya diciptakan. Menjadi khalifah di muka bumi dengan menguasai berbagai disiplin ilmu tanpa melupakan kewajiban sebagai seorang hamba. Menjadi Gen-Z yang gaul tapi tetap taat kepada pencipta-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H