Penulis:
Layla Putri Amalya 202210515109
Anggi Khoiriyyah Putri 202210515115
Wahyu Aulizalsini, M.Psi., Psikolog
Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
Anak berkebutuhan khusus atau ABK adalah anak yang memerlukan penanganan khusus karena adanya gangguan perkembangan dan kelainan yang dialami oleh anak tersebut. Berkaitan dengan istilah disability, maka anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki keterbatasan di salah satu atau beberapa kemampuan baik itu bersifat fisik seperti tunanetra atau tunarungu, maupun bersifat psikologis seperti autism dan ADHD (Ayuning et al., 2022)
Di Indonesia, anak-anak dengan kebutuhan khusus diklasifikasikan sebagai anak-anak tunanetra, tuna rungu, kecacatan intelektual, penyandang cacat motorik, gangguan emosi sosial, dan anak-anak dengan bakat cerdas dan khusus dalam konteks pendidikan khusus. Setiap anak dengan kebutuhan khusus memiliki fitur unik. Semua anak dengan kebutuhan khusus juga membutuhkan layanan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan atribut mereka. Untuk menentukan karakteristik dan kebutuhan mereka, kegiatan identifikasi dan penilaian penting. Hal ini dianggap penting untuk mendapatkan layanan yang sesuai dengan karakteristik, kebutuhan, dan kemampuan mereka (Lisinius Ginting et al., 2023).
Banyak yang bilang bahwa individu yang memiliki kelainan atau yang kita kenal sebagai anak berkebutuhan khusus itu tidak bisa sukses seperti kalangan individu yang normal. Bahkan banyak dimana anak berkebutuhan khusus dikucilkan dan tidak dianggap ada di dunia. Setiap orang memiliki keterbatasan atau kekurangan pasti memiliki kesempatan untuk sukses. Tidak hanya manusia normal saja, tetapi manusia yang dibilang tidak normal atau disebut anak berkebutuhan khusus juga memiliki kesempatan untuk meraih kesuksesannya.
Di tulisan kali ini, penulis akan lebih membhas mengenai penyandang autisme. Penulis akan menjelaskan lebih detail mengenai apa itu autisme, faktor yang menyebabkan seseorang menjadi autisme, perbedaan ukuran dan struktur otak anak autisme dengan anak normal dan terapi seperti apa yang bisa digunakan untuk penyandang autisme. Disini juga penulis akan memberikan salah satu kisah inspiratif dari penyandang autisme yang bisa dibilang sukses meraih masa depannya.
Autism spectrum disorder (ASD) atau gangguan spektrum autisme merupakan gangguan perkembangan yang ditandai dengan hambatan komunikasi dan interaksi sosial serta perilaku berulang dan minat terbatas (American Psychiatric Association dalam Surjaningrum & Mujahadah, 2022). Pada usia dewasa, individu yang mengalami gangguan ini memiliki kesulitan untuk melakukan interaksi timbal balik, memahami isyarat komunikasi dan memulai interaksi sosial, sehingga menghambat fungsi personal, akademik, maupun pekerjaan (Surjaningrum & Mujahadah, 2022).
Gejala umum yang dapat diamati dari anak autisme antara lain, gangguan pola tidur, gangguan pencernaan, gangguan fungsi kognisi, tidak adanya kontak mata, komunikasi satu arah, afasia, menstimulasi diri, mengamuk tindakan agresif atau hiperaktiv, menyakti diri sendiri, acuh, dan gangguan motorik yang berulang (Jihan et al., n.d.).
Faktor Penyebab Autisme
Berdasarkan Widyawati pada sebuah simposium autis pada tanggal 30 Agustus 1997, mengemukakan beberapa teori penyebab autisme antara lain:
1. Teori Psikososial
Penyebab autisme pada anak yaitu lahir dari perilaku sosial atau orang di sekitarnya yang tidak seimbang, seperti orang tua yang emosional, kaku dan obsesif.
2. Teori Biologis
Secara genetik terhadap famili serta anak kembar menunjukkan adanya faktor genetik yang berperan autisme. Dalam salah satu penelitian, ditemukan keluarga 2,53% autisme di saudara kandung, yang berarti 50-100 kali lebih tinggi di banding kan pada populasi normal.
3. Teori imunologi
Dalam teori ini, telah ditemukan respons dari sistem imun di beberapa anak autistik menaikkan kemungkinan adanya dasar imuniologis di beberapa masalah autisme. Ditemukannya antibodi beberapa ibu terhadap antigen lekosit anak mereka yang autisme, memperkuat dugaan ini, sebab ternyata antigen lekosit juga ditemukan pada sel-sel otak.
4. Infeksi virus
Peningkatan frekuensi yang tinggi dari gangguan autisme pada anak-anak dengan congenital, rubella, herpes simplex encephalitis, dan cytomegalovirus invection, pula pada anak-anak yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus (Yahya et al., 2023).
Ukuran Dan Struktur Otak Anak Autisme
Perbedaan neuroanatomi antara anak yang mengalami gangguan spektrum autis dengan anak perkembangan normal sangat bervariasi, dan terdapat peningkatan signifikan dalam volume otak selama perkembangan awal pada anak-anak dan kemudian terjadi penurunan signifikan dalam volume selama masa remaja dan dewasa (Wallace, Dankner, & Kenworthy, 2010; Ecker, 2016).
Pembesaran otak awal pada anak autis disertai dengan peningkatan signifikan dan lingkar kepala (Lainhart, Piven, & Wzorek, 1997), dan berlanjut sampai usia 5-6 tahun, setelah itu tidak terdapat peningkatan signifikan dalam volume total otak (Courchesne, Karns, & Davis, 2001).
Penelitian yang dilakukan oleh Hazlett, Poe, dan Gerig (2005) menjelaskan terdapat pembesaran otak 5% dalam dua tahun usia anak autis, kemudian diukur kembali setelah anak berusia dua tahun dan hasilnya tidak terdapat peningkatan. Schultz (dalam Donders & Hunter, 2010) juga menjelaskan volume otak lebih besar 10% pada anak autis yang balita, dibandingkan peningkatan pada anak autis yang berusia di atas lima tahun.
Anak autis juga mengalami perbedaan dalam beberapa struktur otak terutama di bagian otak yang terkait dengan fungsi eksekutif serta kemampuan komunikasi dan sosial seperti di bagian frontal cortex, temporal cortex, hippocampus dan amygdala. Hal ini menyebabkan anak kesulitan dalam melakukan perencanaan, kurang fleksibel dalam berpikir, kesulitan dalam melakukan generalisasi, kesulitan untuk mengintegrasikan informasi secara lengkap menjadi sesuatu yang bermakna, serta kesulitan dalam kemampuan intersubjektivitas (kemampuan untuk meletakkan diri sendiri pada posisi/kondisi orang lain). (Daulay, 2017)
Menurut laporan yang dimuat JAMA (Journal of American Medical Association), para ilmuwan menemukan bahwa:
a. Di otak bagian dorsolateral korteks prefrontal, anak-anak autis memiliki sel saraf 79% lebih banyak.
b. Di otak bagian mesial korteks prefrontal, anak-anak autis memiliki sel saraf 29% lebih banyak.
c. Di otak bagian dorsolateral korteks prefrontal, rata-rata terdapat 1,57 miliar sel saraf pada anak autis, dibandingkan dengan 0.88 miliar pada anak lain.
d. Di otak bagian mesial korteks prefrontal, rata-rata terdapat 0.36 miliar sel saraf pada anak autis, dibandingkan dengan 0,28 miliar pada anak lain.
e. Perbedaan berat otak sebesar 17,6% bdi antara anak-anak dengan autisme, dibandingkan dengan 0,2% di antara mereka tanpa autisme (Anak Autis Punya Otak Lebih Besar Dan Sel Saraf Lebih Banyak, 2011).
Terdapat terapi atau cara penanggulangan bagi penyandang autisme
Salah satu terapi yang bisa digunakan adalah dengan media Social Stories yang pada pelaksanaanya dengan membaca, melakukan tanya jawab untuk mengetahui pemahaman, latihan dan praktik langsung akan Social Stories dengan tema perilaku yang tepat saat di dalam kendaraan yang dibaca sebelum naik kendaraan (Susilo & Widyawati, 2017).
Social story merupakan cerita pendek yang dapat digunakan untuk membantu penderita autisme dalam menafsirkan dan memahami situasi sosial serta dalam menentukan suatu respon dengan tepat dalam gaya dan format yang ditetapkan secara khusus. Social story adalah salah satu teknik intervensi peningkatan kompetensi sosial yang banyak diteliti pada individu autis. Intervensi Social story diperkenalkan oleh Gray dan Garand untuk mengembangkan keterampilan sosial dengan memberikan pemahaman anak mengenai hidden code dari interaksi sosial. Fokus dari Social story ini adalah menyusun cerita yang mendeskripsikan lima elemen dari situasi sosial terkait, yakni kapan, dimana, siapa yang terlibat, apa yang terjadi, dan mengapa terjadi. Melalui Social story anak dapat mempelajari alur kejadian sosial, mengartikannya dengan tepat, dan mengetahui apa yang diharapkan lingkungan atas kejadian tersebut (Umama, 2022).
Metode latihan keterampilan sosial dengan media Social Stories efektif untuk menurunkan perilaku non adaptif autisme dewasa, dengan catatan bahwa perilaku non adaptif tersebut tidak terkait dengan emosi atau memori situasi yang tidak menyenangkan atau tidak membuat nyaman subyek. Di sisi lain, perilaku non adaptif yang berlebihan sulit untuk diturunkan dengan menggunakan media Social Stories jika tidak dikombinasikan dengan metode lain (Susilo & Widyawati, 2017).
Dengan penjelasan yang sudah dijabarkan diatas mengenai gambaran kesulitan apa saja yang akan dihadapi oleh orang yang mengidap autisme di masa depan nya. Tidak menutup kemungkinan orang yang mengidap autisme tidak dapat meraih kesuksesan dan meraih cita-cita nya. Penulis akan mengaitkan antara kisah inspiratif dengan teori yang sudah dijabarkan diatas, dengan harapan agar orang yang mengidap autisme tidak berkecil hati dengan kondisi nya.
Dikutip dari Liputan 6 (Sabadar, 2019) yang berjudul “Kisah Alumnus UGM Penyandang Autisme Berjuang Menyelesaikan Kuliah”. Menuliskan salah satu kisah inspiratif yang menceritakan mengenai individu yang menderita autisme tetapi ia bisa lulus menjadi sarjana di salah satu uiversitas ternama di Indonesia yaitu Universitas Gajah Mada. Dionisius Agung Sulistyo merupakan salah satu mahasiswa dengan autisme yang berhasil lulus dari UGM jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya dan menyelesaikan pendidikannya pada November 2018 lalu. Dion mengungkapkan bahwa selama ia menimba ilmu, tak jarang ia kehilangan fokus selama dosen mengajar, selain itu ia juga sempat menjadi bahan berundungan teman-temannya karena kondisi nya tersebut, namun hal itu tidak membuat ia berkecil hati. Dion bahkan sempat bekerja di Kemendikbud Direktorat Cagar Budaya dan Permuseuman Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H