Mohon tunggu...
Darwis Kadir
Darwis Kadir Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya ingin bercerita tentang sebuah kisah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dari Penyadap hingga Tuak Pahit yang Fenomenal

14 Maret 2018   08:06 Diperbarui: 15 Maret 2018   00:57 3146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenapa tuak pahit lebih dipilih ketimbang gula merah? Sebuah pertanyaan yang timbul dan ditujukan kepada para petani yang mengelola air nira itu. Namun tidak semuanya juga petani ini fokus pada pembuatan tuak pahit.

Yang menjadi fokus sorotan kali ini tentang masih maraknya tuak pahit yang beredar di masyarakat. Terkadang timbul keributan di sebuah hajatan ataukah di sebuah kampung akibat konsumsi tuak pahit yang memabukkan. 

Hanya karena persoalan sepele berbuntut pada kericuhan yang mengakibatkan korban jiwa. Kita biasa disuguhkan oleh media berbagai tindak kejahatan terjadi karena pengaruh minuman jenis ini. 

Nalar yang hilang berbuntut pada kasus pemerkosaan,pembunuhan dan tindakan kriminal lainnya. Terkait nalar yang hilang, seorang bapak rela memperkosa anak kandungnya.

Tuak pahit pun kerap menjadi pilihan dalam acara kumpul-kumpul, harga yang murah dibanding merk ternama, menjadi salah satu alasannya. Selain itu minuman ini juga familiar dan dianggap memberikan khasiat tertentu apalagi kalau sudah di-oplos. 

Berbicara minuman oplosan sebuah kasus di Rembang yang menghebohkan. Peminum ini sekarat dan akhirnya meninggal dunia. Ironisnya pelakunya masih anak sekolah tingkat SMP. Kematian yang sia-sia.

Tidak ada asap kalau tak ada api. Seperti itu penggambarannya. Takkan ada tuak manis yang beredar kalau tak ada yang membuatnya. Sasarannya pasti pada Penyadap Getah Nira (palem)  yang kemudian memprosesnya. 

Dari penuturan seorang penyadap dia mengatakan terdapat kelebihan jika menjual tuak pahit ketimbang mengolahnya jadi gula merah. Artinya mempunyai nilai jual yang berarti dapat memperoleh keuntungan yang berlebih.

Alasannya untuk mengolah air nira menjadi gula merah diperlukan beberapa liter tuak segar dalam satu wajan besar. Biasanya dalam satu wajan itu hasilnya cuma 5 gula batangan siap jual. 

Harganya bervariasi dari 15.000-18.000 pada tingkat produsen (harga lokal) Jika dikalikan 5 dengan harga tertinggi misalnya 18.000 maka hasilnya cuma 90.000. Sedangkan harga jual tuak pahit perliter dikisaran 25.000. Air nira yang satu liter tak mencukupi untuk dijadikan satu gula merah batangan. Itu disebabkan air nira yang dimasak mengalami penguapan.

Kemudian dari segi pembuatannya berbeda. Jika dalam proses gula merah harus menungguinya berjam-jam sembari mengaduk-aduknya. Memberikan berbagai campuran yang bertujuan agar hasilnya baik seperti campuran kemiri pada saat mulai mengental. Mencetaknya dan membungkusnya menggunakan daun-daun dari hutan seperti daun jati dan sukun. 

Penggunaan kayu bakar yang mengorbankan pohon-pohon,menebang dan mengeringkannya. Setiap hari dalam jumlah yang cukup banyak. Butuh tenaga ekstra.

Berbanding dengan pembuatan tuak pahit,hanya dengan menyimpannya pada wadah tertentu seperti ember atau tempayan. Mencampurnya dengan kulit kayu tertentu. Tinggal ditutup dengan kain. Selesai. Menunggu beberapa hari agar rasanya pahit. Setelah itu siap dijual. Tentunya dengan sembunyi-sembunyi.

Penjualan tuak pahit atau miras telah diatur dalam perda masing-masing daerah. Secara spesifik diatur tentang merk miras yang boleh dijual dan tempat yang boleh menjualnya. 

Jenis minuman yang dilarang serta penjualnya dapat ditindak dengan aturan Perda. Walau sebenarnya semua minuman yang memabukkan dilarang diproduksi dan dijual secara umum. Terkait lagi dengan payung hukum yang mesti menjadi landasan terkuat dalam menyikapi fenomena ini.

Dalam hukum agama islam, sesuatu yang memabukkan itu masuk dalam jenis Khamr. Dalam surah al Maidah ayat 90 dan pada Hadits riwayat Muslim. Jenis minuman yang memabukkan zaman dulu sampai pada jenis minuman terbaru memabukkan.

Pada intinya sebuah aturan yang ada bertujuan untuk keselamatan manusia. Bagi yang mengamalkan ini tentulah jalan keselamatan ada pada dirinya.

Kembali pada penyadap nira yang lebih memilih menjadikan tuak perlu pendekatan emosional. Bisa saja kondisi ekonomi mereka yang membuat mereka memilih jalan ini. Salah satu cara yang pernah ditempuh di daerah kami adalah memberikan bantuan modal usaha dengan syarat meninggalkan usaha pembuatan tuak pahit. Mereka semua yang berprofesi penyadap di data.

Namanya juga manusia ada yang kemudian menyadari akibatnya,namun ternyata ada juga yang diam-diam terus memprosesnya. Buktinya minuman tuak pahit ini masih ditemui di berbagai tempat.

Para pembuat tuak pahit mendapatkan tempat di hati para konsumennya. Seandainya tidak,maka tuak pahit produksi mereka tidak laku dalam artian tidak ada yang membelinya. Perlahan-lahan usaha ini akan mati sendiri. Mereka akan beralih kembali jadi pembuat gula merah.

Mereka ini punya andil dalam setiap tindakan kriminal yang terjadi dalam lingkungan masyarakat. Sebuah kewajiban stake holder untuk menekan angka tindakan kriminal yang penyebabnya miras. 

Memutus mata rantai penyadap,penjual sampai kepada peminum.Jika ini tak tertangani dengan baik,pastinya kita menunggu imbasnya. Kejadian apa yang akan terjadi selanjutnya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun