Mohon tunggu...
Kosmas Lawa Bagho
Kosmas Lawa Bagho Mohon Tunggu... Auditor - Wiraswasta

Hidup untuk berbagi dan rela untuk tidak diperhitungkan, menulis apa yang dialami, dilihat sesuai fakta dan data secara jujur berdasarkan kata hati nurani.

Selanjutnya

Tutup

Book

Seri 4 - Menerbitkan Buku Fiksi "Sobekan Rahasia Langit"

31 Mei 2023   13:50 Diperbarui: 31 Mei 2023   14:01 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Oleh Kosmas Lawa Bagho

Pecinta Sastra

"Yang bukan penyair tidak ambil bagian." Inilah bait terakhir puisi penyair besar Indonesia, Chairil Anwar (1922-1949) yang berjudul "Fragmen." Bait terakhir ini hanya terdiri atas satu baris. Puisi ini terdapat dalam buku antologi puisinya berjudul Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus, diterbitkan Penerbit Dian Rakyat tahun 1949, bersamaan dengan tahun kematian penyair heorik dengan puisinya yang terkenal "Aku Ini Binatang Jalang."

Baris puisi yang terdiri atas enam kata di atas, sengaja dihadirkan Chairil Anwar, bukan tanpa berdasar. Dasarnya, pada tahun 1940-an itu, budaya literasi masyarakat Indonesia masih sangat rendah bahkan sangat memprihatinkan. Yang terlibat dalam kegiatan membaca dan menulis sangat rendah, apalagi membaca dan menulis puisi, jauh lebih rendah lagi. Baris puisi ini sepertinya sebagai bentuk sindiran terhadap masyarakat Indonesia yang malas membaca dan menulis puisi. Ungkapan Chairil Anwar ini kemudian dijadikan semacam semboyan oleh masyarakat umum untuk menyindir orang-orang yang dengan iseng mau menulis puisi. 

Keadaan pada 80-an tahun lalu itu, kini sudah berubah jauh, apalagi pada era digital sekarang ini. Pada era sekarang ini, baris puisi Chairil Anwal di atas berubah menjadi ungkapan: "Yang bukan penyair, silakan ambil bagian." Semboyan ini dipakai pula di kalangan pencinta puisi esai Denny JA, yang mengajak siapa saja untuk menulis puisi esai. Semboyan yang kini terbalik pada era Chairil Anwar.

Pada saat ini, siapa saja, kalau mau, silakan menjadi penyair. Caranya, dengan menulis puisi dan mempublikasikannya kepada publik lewat berbagai media massa, baik media cetak maupun media online. Maka, berbondong-bondonglah orang menulis puisi di berbagai media massa yang tersedia. Genre sastra yang bernama puisi, menjadi idola baru dan semarak di masa pandemi Covid-19 sejak 2020 sampai dengan saat ini. Tidak hanya gairah menulis puisi meningkat, gairah membaca puisi secara virtual juga meningkat. Apakah puisi itu bermutu atau tidak, itu bukan urusan penulis. Apakah kemudian penulis puisi akan disebut penyair atau tidak, itu pula bukan urusan penulis. Yang menilai puisi pada era kini, tidak hanya pengamat dan kritikus sastra, tetapi juga para pembaca umum di media sosial yang disebut netizen.

Kosmas Lawa Bagho, penulis buku antologi puisi Sobekan Rahasia Langit ini ikut terpanggil dan merasa berhak mengambil bagian dalam kecenderungan umum masyarakat Indonesia pada akhir-akhir ini. Masing-masing orang tentu mempunyai dasar dan motivasi menulis puisi yang berbeda-beda. Itu sah-sah saja dalam dunia sastra. Bagi penyair Kosmas Lawa Bagho, dasar dan motivasi menulis puisi tidak sederhana. Ada tiga dasar pertimbangannya, yakni pertimbangan psikologis, historis, dan filosofis. Ketiga dasar pertimbangan ini kita temukan dalam puisinya yang berjudul "Menulis." Berikut kutipan lengkap puisi tersebut.

Buat apa saya harus menulis

Menulis menyembuhkan luka dalam hati

Membersihkan segala kotoran jiwa

Membuka sumbatan nadi untuk berpikir sehat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun