Mohon tunggu...
Kosmas Lawa Bagho
Kosmas Lawa Bagho Mohon Tunggu... Auditor - Wiraswasta

Hidup untuk berbagi dan rela untuk tidak diperhitungkan, menulis apa yang dialami, dilihat sesuai fakta dan data secara jujur berdasarkan kata hati nurani.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Benarkah, "Mantan Wali Kota & Gubernur Tidak Bisa Jadi Presiden RI"

5 Juni 2014   14:45 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:15 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perhelatan meraup simpati rakyat makin menggelayut bumi Indonesia. Maklum tinggal sebulan lagi, pemilihan presiden RI yang ke-7 akan dilakukan pada tanggal 9 Juli 2014. Kini, kedua pasangan capres dan cawapres dengan segala kelebihan dan kekurangan telah tampil berkampanye visi-misi-program setelah ditetapkan dan ditarik undian nomor urut pasangan oleh KPU  beberapa waktu lalu.

Suka tidak suka, mau tidak mau, hanya dua pasangan calon yang dilamar dan itulah yang ditetapkan KPU setelah melewati verifikasi berbagai persyaratan sesuai UU yang berlaku meski ada sebagian rakyat kritis masih mempertanyakan beberapa hal yang menurut pandangan mereka masih butuh penjelasan lebih detail dari KPU. Namun apa pun itu, kita mengamini KPU sambil memberitakan catatan kritis untuk diperhatikan pada pilpres  5 tahunan yang akan datang.

Seperti yang telah diketahui publik Indonesia bahwa kedua pasangan itu berdasarkan nomor urut: 1 adalah pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan 2 adalah Joko Widodo - Muhamad Jusuf Kalla.

Tanggal 9 Juli 2014, rakyat Indonesia menjatuhkan pilihan mereka berdasarkan pertimbangan kritis dan hati nurani pada kedua pasangan calon yang dianggap sebagai putra-putra terbaik bangsa saat ini untuk memimpin Indonesia lima tahun ke depan, 2014-2019.

Kedua pasangan memiliki kelebihan dan kekurangan sebagai manusia. Mereka juga memiliki rekam jejak (track-record) yang berbeda sehingga lebih memudahkan rakyat menjatuhkan pilihan apalagi memang hanya dua pasangan yang secara "head to head".

Kedua pasangan calon dengan tim sukses (kerja) serta para relawan berjuang keras agar bisa menarik simpati rakyat agar bisa memenangkan kontestasi pilpres tanggal 9 Juli 2014. Sejak gaung kampanye ditabuhkan KPU dengan diawali Deklarasi Pilpres Berintegritas & Damai tanggal 3 Juni 2014, kini kedua pasangan calon mengkampanyekan berbagai visi-misi-program melalui kampanye dialogis maupun kampanye terbuka di hadapan rakyat dari Sabang sampai Merauke.

Kampanye dilakukan juga melalui iklan serta media massa atau pun media elektronik terutama televisi. Tadi malam, penulis lapak ini menyaksikan ILC di TVOne dengan judul "Sudden death, Jokowi-Prabowo Jilid 2". Dua kubu dari dua pasangan calon hadir serta lebih banyak menyoroti visi-misi dan program di bidang hukum. Ada perdebatan substantif meski ada hal juga yang administratif. Tentang perdebatan di bidang hukum, penulis tidak bisa membahas lebih dalam sebab memang penulis hanya orang biasa dan awam sekali tentang hukum di Indonesia apalagi kita saksikan koq banyak aturan hukum yang kadang saling bertentangan ditambah lagi tidak dilaksanakan secara konsisten dan adil. Hukum kadang lebih tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.

Namun yang menjadi perhatian penulis adalah pernyataan salah seorang dari kubu Prabowo-Hatta yang duduk di sana ada Fadli Zon, Fahri Hamzah, Muladi dkk. Penulis agak sedikit terkejut sendirian di tengah malam itu, ada lontaran pernyataan yang juga meragukan kemampuan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Pernyataannya kira-kira begini.

"Mana ada mantan wali kota atau gubernur yang bisa jadi presiden. Yang terjadi selama ini di Indonesia adalah yang menjadi presiden hanyalah jendral dan mantan jendral".

Pernyataan ini langsung menohok pada pasangan di sebelahnya sebab capres kubu sebelah adalah mantan wali kota dan gubernur non aktif lantaran mengambil cuti kampanye pemilihan presiden. Sudah diduga bahwa berbagai pendapat dan pernyataan para politisi senantiasa mengangkat citra pasangan calon yang diusungnya dan berusaha menggiring opini masyarakat agar melemahkan calon lainnya.

Sah-sah saja pernyataan itu dalam dunia demokrasi apalagi dalam masa kampanye. Namun pertanyaan kritis, benarlah demikian? Selain itu, menurut hemat penulis bahwa pernyataan itu merupakan ungkapan orang yang mempertahankan status quo dan tidak mau berubah sesuai perkembangan zaman. Lebih memprihatinkan bahwa pernyataan demikian menganggap orang lain atau profesi lain selain tentara (jendral atau mantan jendral) tidak bisa menduduki kursi kepresidenan di Indonsia. Pada hal, ini negeri demokrasi. Semua anak bangsa ini sama di depan hukum dan rakyat untuk menjadi apa pun dengan cara yang amanah (pilpres).

Untuk itu, rakyat Indonesia hendaknya bahu membahu membuktikan bahwa kita negeri demokrasi yang mengusung kesederajatan semua anak bangsa dengan profesi apapun serta membuktikan kepada dunia dan Indoensia bahwa sejarah itu kini sudah berubah. Siapa pun dan apa pun profesinya apabila rakyat menghendaki apalagi pernah menjadi wali kota dan gubernur layak duduk menjadi presiden.

Saat ini terutama 9 Juli 2014, kita buktikan bahwa semua kita sama dan sederajat. Dua kandidat telah ada di depan mata hati kita masing-masing. Mari kita memilih pada tanggal 9 Juli 2014 sesuai analisis pribadi serta hati nurani. Kita nyatakan bahwa kita semua sederajat.

Untuk itu, pernyataan mantan wali kota dan gubernur tidak bisa jadi presiden adalah sebuah pernyataan yang tidak logis dan tidak beralasan serta tidak pada tempatnya.

Selamat berdemokrasi secara berintegritas dan damai

Ende-Flores, 5 Juni 2014

Kosmas Lawa Bagho

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun