Mohon tunggu...
Jazzy Eka
Jazzy Eka Mohon Tunggu... Tutor - Jazz the world with the words

An ordinary woman with extra ordinary life

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Peran Guru dalam Mengentaskan Perundungan

24 Juli 2022   12:57 Diperbarui: 24 Juli 2022   13:00 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Lagi-lagi dunia pendidikan di Indonesia terhenyak ketika beberapa waktu lalu kabar duka datang dari Tasikmalaya, Jawa Barat. Seorang anak berusia sebelas tahun, meninggal dunia karena depresi setelah dipaksa teman-temannya untuk menyetubuhi seekor kucing dan direkam. 

Setelah ditelisik, ternyata itu bukan perundungan pertama yang diterima korban. Rupanya ia sering mendapatkan kekerasan fisik dari teman-temannya. Dan pemaksaan menyetubuhi kucing tersebut, menjadi puncak tekanan batinnya. Ia tidak mau makan dan minum, sehingga dilarikan ke rumah sakit. Namun, sayang, di sana nyawanya tidak bisa diselamatkan.  

 Menurut KBBI, perundungan adalah proses, cara, perbuatan merundung yang dapat diartikan sebagai seseorang yang menggunakan kekuatan untuk menyakiti atau mengintimidasi orang-orang yang lebih lemah darinya. 

Biasanya dengan memaksanya untuk melakukan apa yang diinginkan oleh pelaku. Dari definisi tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa segala sesuatu yang dilakukan untuk membuat orang lain tidak nyaman atau terancam dengan cara intimidasi dan pemaksaan adalah perundungan. 

Bentuk intimidasi bisa berupa ancaman fisik atau psikis, meskipun sebenarnya, keduanya tidak bisa dipisahkan. Ancaman psikis biasanya didahului dengan ancaman psikis bisa berupa perlakuan pengucilan atau kata-kata berisi penindasan. Begitu pun dengan ancaman psikis, jika berlangsung lama, terutama ketika si korban melawan, maka akan berlanjut dengan perundungan fisik.

 Perundungan terhadap anak khususnya siswa, maka harus menjadi perhatian besar berbagai pihak, terutama keluarga dan sekolah. Hal ini dikarenakan, dua "dunia" yang menjadi pusat siswa adalah dua tempat tersebut. Di dalam keluarga, dari beberapa referensi, maka pencegahan efektif melawan perundungan adalah peran orang tua yang memberikan perhatian serta bimbingan kepada anak secara intens dan terarah sesuai usianya. 

Tentu saja perhatian dan bimbingan itu disertai kasih sayang serta perlindungan yang melimpah. Tak sulit memunculkan rasa kasih sayang orang tua pada anak, karena hakikatnya mereka memiliki ikatan darah, sehingga rasa itu akan terjalin dengan sendirinya. 

 Bagaimana dengan di sekolah? Siswa dan guru secara hakikatnya adalah dua pihak yang asing. Meskipun ada juga guru yang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah dimana ia mengajar, namun tetap saja sebagian besar siswa lainnya adalah "anak orang" yang harus mendapatkan kasih sayang, perhatian dan perlindungan yang sama dari guru. 

Penanaman kasih sayang orang tua pada anak yang akan terjalin dari semenjak si anak dalam kandungan, atau bahkan ketika orang tua memperisiapkan kehamilan. Berbeda dengan guru, penanaman kasih sayang ini bisa jadi harus memakan waktu bertahun-tahun. Hal ini bisa jadi dikarenakan beberapa faktor:

1. Pekerjaan guru didapat karena murni untuk mencari pekerjaan.

2. Dalam mata kuliah keguruan, lebih banyak mata kuliah tentang teknis mengajar, dibanding teknis menyayangi anak didik.

3. Bagi beberapa guru pemula atau fresh-graduate, terutama yang belum menikah, tentu belum menemukan cara yang efektif dalam memberikan kasih sayang pada ratusan siswa.

 Namun sayangnya, pencegahan perundungan ini harus segera menjadi perhatian di awal guru berinteraksi dengan siswa. Apalagi di level sekolah menengah, dimana waktu pendidikannya agak singkat, yaitu tiga tahun, maka "chemistry" guru dan siswa harus sudah didapatkan di awal perkenalan siswa baru. Jangan menunggu sampai terjadi perundungan, baru digulirkan pencegahannya.

 Maka, apa saja langkah-langkah awal guru dalam mencegah perundungan di sekolah?

1. Menumbuhkan rasa kasih sayang secara merata kepada semua siswa, apapun karakternya, fisiknya, tingkat kemampuan akademiknya, tingkat sosial ekonominya, bahkan bagaimana ia memperlakukan guru itu sendiri. Hal ini bisa jadi mudah, bisa jadi sangat-sangat sulit. Siswa yang notabene pintar, baik, penurut, apalagi orang tuanya menjalin hubungan dekat dengan guru, maka akan dengan mudah guru memberikan perhatian dan kasih sayang lebih padanya. 

Namun, bagi siswa biasa-biasa, atau bahkan tingkat "bawah" dalam arti secara fisik tidak menonjol, secara prestasi nyaris tidak ada "kelebihan" dari kalangan ekonomi lemah, maka biasanya siswa-siswa seperti ini luput dari perhatian guru. Padahal inilah golongan siswa yang rentan mendapatkan perundungan. 

2. Merancang program sekolah berupa kegiatan-kegiatan kebersamaan antar siswa atau penyuluhan tentang pentingnya pertemanan dan kebersamaan. 

Bagi sekolah-sekolah berbasis keagamaan, kegiatan ini bisa menjadi sebuah kegiatan strategis, dimana selain penanaman nila-nilai keagamaan, siswa juga bisa mendapatkan penjelasan lebih lanjut tentang materi-materi pelajaran agama di kelas. Sehingga siswa terbuka pemahamannya bahwa kebersamaan adalah kunci kesuksesan, dan perundungan bukan solusi sebuah masalah pertemanan. 

3. Memaksimalkan semua potensi siswa tanpa kecuali. Seorang guru harus benar-benar memahami bahwa setiap siswa adalah istimewa. Mereka mempunyai talenta dan bakat yang berbeda. Kelebihan siswa tidak dinilai hanya dari rangking rapotnya saja. 

Namun, siswa yang mempunyai kelebihan di bidang seni, olahraga, hapalan, berkarakter mudah menolong orang, mudah tersenyum, sopan, disenangi teman-temannya di semua kalangan, itu adalah hal-hal yang juga harus diparesiasi dan diasah oleh guru. Sehingga anak merasa percaya diri dan dihargai. Jadi ketika ia mendapatkan perundungan, ia akan percaya diri "melawan" dalam arti batinnya kuat tidak down. 

4. Memberikan perhatian lebih kepada anak-anak yang rentan menjadi korban perundungan. Di awal pembelajaran guru tentu mempunyai data-data tentang latar belakang siswa, baik keluarganya, sosial ekonominya, ataupun secara fisiknya. Segera deteksi siswa-siswa yang rentan menjadi bahan "olok-olok" teman-temannya. 

Mungkin seorang siswa yang ABK, seorang siswa yang berasal dari keluarga broken-home, atau siswa yang berasal dari golongan ekonomi lemah. Perhatian disini bukan berarti guru setiap waktu menunjukkan kasih sayang lebih di depan teman-teman lainnya, tapi guru memperhatikan "dari kejauhan" artinya memperhatikan tanda-tanda apakah ia bergaul baik dengan teman-temannya atau ada yang mengganggunya. Kalaupun ada yang mengganggunya, guru pun tidak serta merta langsung membelanya, tapi tetap langkah-langkah cek ricek harus dilakukan.

5. Memastikan tidak adanya perundungan di kalangan guru. Mungkin ini hal bisa dikatakan absurd atau mengada-ada. Namun, perundungan sebenarnya tidak hanya terjadi dikalangan siswa atau anak-anak, orang dewasa pun rentan mengalami hal ini. Karena hakikatnya perundungan terjadi sebagai ekses dari intensnya pergaulan satu kelompok manusia dengan manusia lainnya. Begitupun dalam lingkungan sekolah, yang terdiri dari beberapa tenaga pendidik baik guru ataupun staf lainnya. 

Di kalangan dewasa mungkin akan jarang perundungan secara fisik, namun secara psikis, bisa jadi sering terjadi. Hal ini bisa diakibatkan ketidakpuasan akan pekerjaan seseorang, berburuk sangka, tidak menerima prestasi orang lain, dan sebagainya. Sehingga ketika guru menginginkan siswanya terbebas dari perundungan, maka harus dimulai dari guru yang menjadi teladan.

 Menghilangkan perundungan di lingkungan sekolah, mungkin akan memerlukan waktu lama. Namun, tentu seorang guru harus optimis dan terus menggulirkan program untuk mencegahnya. Pastikan dari tahun ke tahun kasus perundungan ini terus berkurang di sekolah. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun