Puji dan syukur atas kesempatan yang telah dilimpahkan kepadaku, karena aku diberi kesempatan untuk mengikuti seminar dengan tema "Migrants, Refugees, the Displased dan Human Trafficking and Renewable Energy Options in the Asian Context". Seminar tersebut dilaksanakan pada tanggal 11-17 Februari yang lalu di Hotel Beach Way di kota Cox's Bazar, Chattogram, Bangladesh. Setelah seminar selesai dilanjutkan dengan pertemuan jaringan APJPWN ( Asia Pasifik Justice and Peace Workers Network ) 18 -19 Februari 2019.
Para peserta seminar tersebut berasal dari berbagai Negara diwilayah Asia yaitu Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand, Srilangka, India, Hongkong, Jepang, Cina dan Bangladesh. Â Dalam seminar, materi yang didiskusikan tentang Orientasi Pastoral terkait Perdagangan Manusia dan Menuju Global Compacts tentang Migran dan Pengungsi (Pastoral Orientations On Human Trafficking and Towards The global Compacts on Migrants and on Refugees 2018).
Romo Fabio Baggio C.S dan asistennya yang berasal dari Vatikan, menjelaskan tentang bagaimana Gereja Katholik memperhatikan para pengungsi,migran dan juga korban perdagangan manusia sesuai konteks masing-masing negara. Mereka juga menyinggung tentang pesan Bapa Suci, Paus Fransiskus agar sebagai gereja, kita bisa memberikan tempat bagi para pengungsi dengan menyambut, melindungi dan memberi tumpangan secara tulus.
Dalam kesempatan ini, saya dan Mas Lilik yang mewakili Indonesia sharing tentang pelayanan yang dilakukan dan bagaimana tantangan yang dihadapi di Tanah Air. Mas Lilik menceritakan tentang situasi para pengungsi dan pencari Suaka yang berada di rumah-rumah detensi Bogor, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta yang didampingi oleh JRS dan IOM. Ia juga menjelaskan tentang kasus yang belum terungkap dari praktek perdagangan manusia, tumpulnya hukum ke atas tapi tajam kebawah dan berbagai ketimpangan hukum lainnya yang belum memiliki jalan keluar. Hal yang sangat memprihatinkan ialah keterlibatan oknum pemerintahan di dalam jaringan perdagangan manusia yang sulit terungkap.
Saya berbicara dalam konteks provinsi NTT (Nusa Tenggara Timur) yang akhir-akhir ini menjadi sorotan dengan adanya pemulangan Jenasah Pekerja Migran Indonesia asal provinsi NTT. Hampir setiap minggu saya dan teman teman jaringan di kota Kupang menerima peti Jenasah PMI asal NTT di Kargo Bandara El-tari Kupang. Pada tahun 2018 yang lalu, kami  menerima 108 peti Jenasah PMI asal NTT yang bekerja di Malaysia, sedangkan awal tahun ini sudah mencapai 25 Peti Jenasah PMI. Jumlah tersebut belum termasuk dalam daftar jenazah yang tidak bisa dipulangkan ke Tanah Air.
Adapun penyebab kematian dari sebagian besar mereka ialah, sakit akibat kerja paksa yang melebihi batas waktu, gizi buruk karena kekurangan makan, kecelakaan kerja dan mengalami kekerasan fisik dan psikis oleh majikan.
Permasalahan terbesar PMI asal NTT yang bekerja di Malaysia ialah tidak berdokumen (Undocumented) dan tidak melalui prosedur yang berlaku sebagaimana mestinya (non prosedural). Bahkan sebagian besar dari mereka mengetahui dan setuju jika identitasnya dipalsukan sebelum dikirim ke luar negeri.
Jika ditinjau dari aspek geologisnya, kondisi negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan semakin mempermudah praktek Perdagangan Manusia. Banyaknya akses masuk melalui jalan darat, laut maupun udara ke negera lain, khususunya Malaysia semakin mempersulit pengawasan. Para penyelundup akan sangat mudah masuk melalui jalan tikus.
Dengan demikian, PMI tanpa dokumen dan melalui prosedur yang resmi hanya akan menjadi "orang kosong" di negeri orang lain. Dengan kondisi tersebut, mereka tentu akan mudah dijadikan makanan empuk bagi semua pihak tanpa terkecuali oleh aparat penegak hukum dan polisi setempat. Mereka secara otomatis berubah menjadi kelompok rentan dan dalam posisi sangat lemah.
Jika dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, para pekerja laki-laki sebagian besar diperkerjakan di perkebunan kelapa Sawit, sedangkan perempuan akan diperkerjakan sebagai pembantu rumah tangga.
Dari sharing yang dibagikan dari perwakilan tiap-tiap negara, diketahui bahwa permasalahan yang sedang dihadapi setiap negara hampir sama yaitu pengungsi dan korban perdagangan manusia.