Sekitar sebulan yang lalu, tepatnya pada tanggal 20 Juni 2022, aku berkesempatan untuk pergi ke Yogyakarta untuk mengambil sertifikat di suatu lembaga.Â
Awalnya, saya ingin menggunakan kereta api untuk perjalanan, mengambilnya, lalu pulang. Sembari membuka aplikasi tiket kereta api, di dekatk  terdapat motor yang menjadi "alat tempur"-ku untuk berangkat kerja.Â
Entah kenapa, seakan-akan motorku menatap tajam, mengeluh karena hanya ditugaskan pulang-pergi jarak dekat, dan berkata, "Hey, wanna go an adventure with me?"Â
Ku merenung, menutup aplikasi, dan memutuskan, "Why not?"
Sudah sekitar 2 tahun lalu terakhir saya menggunakan motor untuk perjalanan jarak jauh. Kehidupan yang berubah, kerjaan, serta fisik yang semakin lemah, membuatkan sudah tak acuh untuk menunggangi mesin beroda dua ini.Â
Setelah ditimbang matang-matang, akhirnya ku memutuskan kembali untuk touring dengan dua alasan: liburan panjang dan motor yang sudah upgrade.
Sejak masih bocah ingusan, sekitar umur 18 tahun, aku sudah senang melakukan perjalanan jarak jauh dengan motor.Â
Di masa-masa awal, aku hanya menggunakan 110cc dari merk Jepang, hingga sekarang menggunakan motor 150cc dari merk yang berbeda.Â
Lucunya, penambahan kapasitas mesin tidak diikuti dengan gairah untuk melakukan touring.Â
Jika Anda sudah dewasa, Anda pasti pernah merasakan bahwa ada beberapa kegiatan yang akan sirna di masa ini. Di kasusku, perjalanan jarak jauh dengan motor menjadi korbannya.
Dengan persiapan awut-awutan, saya hanya membawa barang seperlunya. Beberapa persiapan lainnya seperti cek kondisi mesin, alat pengamanan tubuh, serta jas hujan untungnya sudah saya miliki. Sekali ini saja, pikirku. Dan setelah itu, saya tidak menyesal sama sekali dengan keputusan tersebut.
Bagian I: Persiapan
Saya masih ingat, pertama kali saya melakukan perjalanan jarak jauh, persiapan saya sangatlah minim. Dengan bermodal kaos oblong ditimpa dengan long-sleeve shirt, sepatu sendal, serta tas jumbo berisikan macam-macam, saya dengan gagah berani siap tancap gas menuju kampung halaman. T
eman saya yang satu perjalanan pun heran dengan saya, "Yakin lu gini doang?"Â
Bagaimana tidak, persiapan saya untuk melakukan perjalanan jarak jauh tidak ada bedanya dengan seorang bapak-bapak yang pergi ke warung untuk membeli satu bungkus rokok.
Saya sadar sekarang, persiapan dalam melakukan touring layaknya Anda mengumpulkan nyawa di awal permainan.Â
Seperti prajurit yang bersiap perang, mereka mengumpulkan senjata serta menempa fisik untuk menghadapi sang musuh. Tujuannya, selain memenangkan pertarungan, juga untuk bertahan hidup. Touring pun seperti itu. Persiapan yang buruk berarti sudah mengurangi satu nyawa dalam diri Anda.
Walaupun terkesan awut-awutan, secara tidak sadar, persiapanku jauh lebih matang untuk touring kali ini.Â
Saya menggunakan leather gloves, jaket denim yang tebal, sepatu kulit slip-on yang antep, serta balaclava yang menutupi seluruh wajah.Â
Tak lupa, yang ditunggangi juga sudah diservis, ganti oli, serta penggantian beberapa komponen CVTÂ serta kampas rem.Â
Alhasil, perjalanan sekarang sangatlah nyaman dibandingkan dengan dulu yang harus minum paracetamol dua tablet serta kulit yang gosong di akhir tujuan.
Bagian II: Membangun Rasa Percaya
Setelah checklists semua sudah terpenuhi, akhirnya saya memutar throttle gas untuk pertama kali.Â
Belum saja sampai Tegal, saya beberapa kali sempat berhenti untuk ngopi sembari membuka Google Maps.Â
Ya, saya tidak yakin dengan trek yang saya lalui. Pikiran saya terpusat pada "benar" dan "salah". Apakah trek ini benar? Apakah trek ini lebih cepat? Saya ragu dengan diri saya sendiri.
Padahal, di masa awal, saya jarang menggunakan Google Maps untuk menuju tempat yang ingin dituju.Â
Saya menikmati perjalanan saya. Saya menikmati juga setiap hal yang saya lalui bersama motor saya. Bahkan, saya pun yakin kalau motor saya bisa melalui medan yang sulit sekalipun. Yap, jalan berbatuan di Tebing Keraton pun saya lalui menggunakan motor matic 110cc saya.
Saya perlu ingat tujuan saya melakukan touring, yaitu untuk menikmati setiap perjalanan yang dilalui. Walaupun persiapan untuk perjalanan jarak jauh yang sekarang lebih matang, saya malah jadi semakin ragu untuk melanjutkan perjalanan saya.Â
Layaknya prajurit yang sudah lengkap persenjataan dalam medan perang, namun kalah karena mental yang ciut. Saya harus percaya.
Bagian III: Menikmati Dunia
Setelah saya yakin dengan diri saya sendiri, saya lebih menggeber motor saya dalam perjalanan kali ini. Mata yang mulai sayup, punggung yang terasa berat, saya coba bertahan.Â
Di sini saya memiliki mental bahwa "lebih cepat, lebih baik". Bahkan, sampai saya mengatur timestamp untuk berapa lama perjalanan kali ini.
Di sini, saya terkesan buru-buru. Tujuan saya fokus untuk mencapai goal yang harus dicapai.Â
Saya berperang dengan diri sendiri, dengan masa muda saya. "Jika motor saya lebih baik kali ini, saya akan menempuh lebih cepat". Nyatanya tidak. Fisik menjadi tembok penghalang utama yang tidak bisa dihindari.
Saya akhirnya menghentikan perjalanan saya di kota Batang. Di sini, saya memutuskan untuk istirahat, ditemani sate yang hangat.Â
Hujan pun mulai turun dengan deras, walaupun hanya singkat. Entah kenapa, semua terasa nikmat. Saya menghabiskan waktu hampir satu setengah jam disini.
Penjualnya pun ramah, menanyakan saya dari mana. Sempat kaget pula karena saya bisa berbahasa Jawa, walaupun saya dari Cirebon.Â
Para supir truk yang juga beristirahat juga sempat bercakap-cakap dengan saya, mengelukan jalanan yang licin saat hujan karena menghambat perjalanannya. Inilah nikmat sebenarnya dari touring. Anda bertemu orang yang anda tidak kenal, lalu mendapatkan cerita baru dari mereka.
Setelah itu, saya sudah tidak memacu kendaraan saya cepat-cepat. Saya menikmati apa yang saya lihat di atas roda pacu ini. Jalanan di kabupaten Batang yang sudah tidak bergelombang, memukaunya Weleri dengan jalan berkeloknya, serta rapi dan bersihnya kota Temanggung dengan alun-alun yang mengagumkan. Saya melihat sebuah peradaban berubah.
Perjalanan dari Cirebon ke Yogyakarta saya tempuh hampir 11 jam lamanya. Ini perjalanan terlama yang pernah saya lalui. Namun sisi baiknya, saya menikmati perjalanan saya. Ya, di sini saya merasa puas melihat dunia.
Layaknya hidup, cobalah untuk beristirahat sejenak dan melihat setiap detil dunia. Berat memang, terutama di usia saya yang mulai beranjak ke dewasa akhir. Namun di satu sisi, jika kita bisa menurunkan kecepatan, kita memiliki kesempatan yang lebih luas untuk memandang sisi indah dunia.
Bagian IV: Sebuah Kemenangan
Sebelas jam yang cukup melelahkan. Akhirnya, tugu "Selamat Datang" di Jalan Magelang pun tampak. Â
Waktu itu, sudah menunjukkan pukul 6 sore. Hujan mulai turun. Saya pun mampir ke warung makan agar perut kosong ini terisi kembali.
Rasa plong pun muncul karena sudah menunaikan tugas. Menghancurkan tembok pembatas yang dibuat karena perubahan kehidupan. Minum teh terasa seperti minum wine. Ayam bakar pinggiran jalan terasa seperti steak di restoran bintang lima.Â
Terasa lebay bukan? Namun, jika kamu pernah merasakan perjalanan jarak jauh, lalu sampai ke tujuan yang diinginkan, terdapat perasaan tersendiri. Perasaan yang serupa dengan kemenangan. Layaknya prajurit yang telah menuntaskan misinya.
Setelah makan dan menuju rumah, saya disambut oleh Pakde ku yang ling-lung karena dihampiri oleh saudara jauhnya.Â
"Numpak montor kwe le?"Â Pikirnya terheran-heran. Padahal, saya juga sudah pernah melakukannya. Tapi entah kenapa, kali ini begitu spesial.Â
Kembali, saya disambut oleh kopi Aceh buatan Budhe yang langsung masak air setelah kedatangan tak terduga saya. Setelah itu, saya akhiri dengan memejamkan mata, meletakkan punggungku untuk menunggu esok hari.
Bagian V:Â Go to The Next Level
Setelah urusan semua selesai, saya kembali ke Cirebon. Kembali ke kehidupanku yang lama dan menjalani apa yang ada. Namun, dari perjalanan ini, saya membawa suatu janji: Saya akan melakukannya kembali.
Banyak yang didapat dari perjalanan kecil kali ini. Dari pengalaman ini, saya belajar untuk mencintai apa yang pernah saya cintai. Saya belajar menilik kembali sebuah kegiatan dari sisi lain.Â
Pada akhirnya, saya bisa memetik buah dari pohon yang selama ini kita lewatkan di masa lalu. Saya juga yakin, teman-teman juga memiliki cerita perjalanan jarak jauh yang dapat diambil maknanya.
Namun bagi saya, perjalanan kali ini hanyalah sebagai palu penghancur tembok batas awal. Setelah dihancurkan, masih ada dunia yang sangat luas untuk dieksplorasi.Â
Di perjalanan selanjutnya, saya butuh persiapan yang lebih matang, rasa percaya diri yang kuat, serta pikiran yang terbuka lebar untuk menerima tantangan baru. Kata "amin" dalam akhir sebuah doa malam adalah awalan untuk kehidupan di hari selanjutnya, bukan?
Oh, sepertinya kota Batu di Jawa Timur, cukup menarik untuk dikunjungi. Would it be my next destination? Â We'll see.
-LMK
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H