Sudah hampir tujuh puluh tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 30 Oktober 1952, ketika Kerajaan Belanda mengatakan bahwa mereka sudah tidak akan melakukan diskusi dengan Indonesia mengenai status Nederlands-Nieuw-Guinea atau Nugini Belanda. Ya, Nugini Belanda merupakan nama resmi dari Irian Barat yang saat itu menjadi bagian dari wilayah luar negeri Belanda. Pernyataan Belanda tersebut juga menandakan bahwa pihaknya memiliki keputusan untuk tidak menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia.
Peristiwa-peristiwa perundingan --- hingga perang --- mengenai status dari Irian Barat merupakan masalah dan agenda yang sudah dipunyai bangsa Indonesia sejak ia memproklamasikan diri sebagai negara merdeka pada tahun 1945. Perjuangan Indonesia untuk meraih keinginan dan kepentingannya tersebut tidak ditempuh secara mudah dan dalam waktu yang singkat. Terbukti, baru pada tahun 1963 Indonesia akhirnya dapat mempunyai kedaulatan atas Irian Barat secara de facto. Oleh karena itu, proses kebijakan luar negeri dan diplomasi Indonesia pada masalah dan masa ini dapat menggambarkan seperti apa sebenarnya sifat Indonesia dalam bertahan hidup di dunia, terutama pada periode rezim presiden Soekarno.
Meski sudah ada upaya untuk menyatukan selaruh wilayah nusantara ke dalam suatu negara Indonesia, pemfokusan pada isu untuk menyatukan Irian Barat baru benar-benar terjadi pada tahun 1950 ketika kedaulatan Indonesia sudah secara resmi diakui oleh Belanda. Indonesia mendapatkan kedaulatannya secara utuh sebagai Republik Indonesia Serikat sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB), yang mana permasalahan mengenai Irian Barat juga dibahas di dalamnya. Setelah menerima kedaulatan, Indonesia juga sebenarnya masih mempunyai masalah lain yang juga dipentingkan, yaitu mengenai kecocokan dari bentuk negara serikat bagi pemerintah dan rakyat Indonesia. Indonesia memang tidak mempunyai kondisi yang santai dalam masa awal kemerdekaannya.
Irian Barat
Wilayah dari pulau Irian atau Papua, penyebutan umum dari wilayah tersebut pada saat ini, bagian barat merupakan wilayah yang "kepemilikannya" telah diperdebatkan sejak masa sebelum kemerdekaan Indonesia dari penjajahan bangsa Eropa Barat. Wilayah Irian Barat juga menjadi salah satu daerah yang dikuasai oleh Kerajaan Belanda beserta bawahannya, seperti Persekutuan Dagang Hindia Timur Belanda (VOC), ketika mereka datang untuk mendagangkan produknya, memonopoli pasar, hingga meraih kekuasaan di Nusantara. Untuk wilayah Irian Barat, Belanda menggunakan kekuasaannya pada Kesultanan Tidore yang mempunyai pengaruh besar pada kehidupan di Irian Barat.Â
Kekuasaan Belanda terhadap kepualauan Nusantara tetap dapat berlangsung ketika VOC bubar dan digantikan oleh koloni Belanda yang lain, yaitu Hindia Belanda. Oleh karena itu, Irian Barat masih menjadi daerah koloni Belanda hingga tahun 1942, ketika Jepang menginvasi Hindia Belanda, dan kembali lagi pada tahun 1945, ketika Jepang mundur. Bahkan, secara fakta, wilayah Irian Barat masih menjadi kekuasaan Belanda sekalipun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Indonesia tentunya juga mengatakan hal yang senada, bahwa Irian Barat merupakan bagian dari Indonesia, ketika ia mencoba untuk mengambil alih kekuasaan atas daerah yang sedang dipermasalahkan. Dalam perundingan dan argumentasi mengenai masalah Irian Barat ini, banyak hal-hal yang dipermasalahkan oleh kedua pihak, misalnya mengenai perjanjian atau kesepakatan di masa silam hingga keberagaman budaya dan adat antara masyarakat Irian Barat dengan kelompok lainnya.Â
Secara otomatis, pihak Belanda mengungkapkan argumen yang mendukung keberadaannya dan kekuasaannya di Irian atau setidaknya argumen yang mencegah Indonesia untuk mengambil alih Irian, dan begitu pula sebaliknya bagi Indonesia. Kompleksitas dari argumentasi dan isu-isu yang dibahas mempunyai andil yang cukup besar terhadap lamanya pembuatan suatu keputusan akhir yang disepakati bersama.
Keadaan Irian Barat yang diceritakan melalui sudut pandang Belanda
Ketika melakukan pembahasan mengenai perebutan keuasaan akan suatu wilayah, maka akan cenderung muncul pihak lain yang akan mendukung salah satu pihak yang bersengketa. Dalam permasalahan Irian Barat ini, banyak negara yang mendukung pihak Belanda maupun pihak Indonesia dengan kepentingannya masing-masing. Permasalahan Irian Barat ini terjadi pada masa Perang Dingin --- sebuah persaingan dan ketegangan antara dua blok dunia berseberangan, yaitu Amerika Serikat (Barat) dan Uni Soviet (Timur). Hal tersebut mengakibatkan semakin banyaknya negara, terutama yang ada di dalam dua blok besar, yang membuat keputusan untuk mengambil pendirian dengan mendukung agenda atau pihak tertentu untuk meraih kepentingannya. Negara-negara yang ikut campur tadi bisa memberikan pengaruhnya secara nyata dan langsung, seperti memberi dana dan pasukan, maupun secara simbolis, seperti memberi dukungan persetujuan akan suatu kebijakan tertentu.
Pada permasalahan Irian Barat, setidaknya ketika tahap permulaan permasalahan, Belanda mendapat dukungan dari beberapa negara-negara anggota Blok Barat, seperti Prancis, Belgia, Inggris, hingga Selandia Baru. Sebaliknya, Indonesia didukung oleh negara-negara anggota Blok Timur dan negara Asia/Afrika lainnya yang juga baru mengalami kemerdekaan, seperti Argentina, Bolivia, India, hingga Uni Soviet. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya ketegangan antara Belanda dan Indonesia pada masa ini juga merupakan salah satu perbenturan-perbenturan ideologi dan kepentingan antara dua kubu yang khas sesuai pada karakteristik Perang Dingin. Menariknya, salah satu negara terkuat di dunia, yaitu Amerika Serikat, tidak secara gamblang menyatakan keberpihakannya. Padahal, Amerika Serikat merupakan pemimpin dari blok yang diikuti oleh Belanda dan juga merupakan anggota persekutuan militer terkuat di dunia yang juga diikuti oleh Belanda, yaitu NATO.
Gerakan-gerakan politik dan ekonomi yang mewarnai jalannya permasalahan Irian Barat ini merupakan hal yang menarik dan memang berpengaruh pada bagaimana bentuk penyelesaian masalah yang mungkin dicapai. Amerika Serikat yang menjalankan kebijakan luar negeri yang bersifat netral dan pasif tidak mau menjual senjata kepada Indonesia, yang mungkin disebabkan oleh persekutuan dengan Belanda dalam keanggotaan NATO. Penolakan tersebut menjadi salah satu pendorong dari terciptanya kebijakan luar negeri Indonesia yang lebih condong untuk bekerja sama dengan Uni Soviet yang ingin menjual senjata dan bahkan mendukung klaim Indonesia atas Irian Barat. Indonesia pun memutuskan untuk mengambil diplomasi dan kebijakan luar negeri yang bersifat ofensif. Pada akhirnya, permasalahan ini pun menjadi konflik militer antara kedua pihak, yang dimulai pada bulan Januari 1962, meskipun telah terjadi berbagai upaya diplomasi yang bahkan melibatkan pihak ketiga seperti Amerika Serikat.
Irian Barat pun berhasil menjadi wilayah Indonesia mulai tahun 1963, setelah sebelumnya berada dalam pemerintahan transisi yang dipimpin oleh badan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Penguasaan Indonesia terhadap Irian Barat dihasilkan dari Persetujuan New York yang mengatur bahwa harus ada pemerintahan transisi sebelum pemerintahan tersebut dialihkan kepada Indonesia. Setelah secara de facto dikuasai oleh Indonesia, rakyat Irian Barat juga melakukan penentuan pendapat pada tahun 1969 untuk menentukan apakah ingin tetap bergabung dengan Indonesia atau tidak --- yang hasilnya menyatakan bahwa Irian Barat tetap bergabung dengan Indonesia, meskipun ada yang mempertanyakan keabsahan hasil tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H