Mohon tunggu...
Gitskai
Gitskai Mohon Tunggu... -

suka cerita apa saja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tentang Ana dan Sekitarnya...

16 Juni 2010   15:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:29 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lagi-lagi hang. Ana membenci komputer jinjing sialan yang diberikan kantornya. Lambat dan berat. Jam sudah menunjukan pukul tujuh malam. Berarti paling cepat Ana baru bisa sampai rumah jam sembilan.  Itu kalau komputer jinjing sialan ini tidak pakai acara hang.

Terbayang wajah Bagas. Sebelas bulan. Sudah bisa berdiri. Kalau menangis suaranya lantang. Kalau makan, banyak dan lahap. Ana sudah kehilangan banyak momen bersama Bagas. Ana tahu Bagas sudah bisa berdiri dari Bimo . Ana tahu Bagas makan banyak dari Bimo. Kata pertama yang keluar dari mulut Bagas adalah "Pa...".  Setelah kelabat wajah Bagas, angka-angka cicilan yang harus dibayar bulan ini mulai berbari manis.

Rasa sesal Ana tiba-tiba muncul. Andai saja Bimo berpenghasilan tetap, bukan kerja santai macam sekarang. Andai saja Ana tidak harus bekerja.  Andai saja Ana dan Bimo tidak terlalu idealis menolak rumah dan mobil dari orang tua Ana hanya karena merasa itu hasil korupsi. Ah, naif sekali mereka dulu. Ana kembali memaki ketika layar komputer jinjingnya tiba-tiba berpendar biru.  Saat itu juga Ana ingin keras-keras menangis.

[Sudirman]

***

"Kamu liat tuh mbakmu.  Apa mama bilang. Susah kan kalau sudah begini. Terlalu idealis juga sih dia. Memang enak jadi tulang punggung keluarga begitu?"

"Tapi mas Bimo bertanggung jawab kok kalo menurutku. Dia yang mengatur urusan rumah tangga, ngurus rumah, ngurus anak. Maksudku ma, si Bagas paling enggak bukan jadi anak pembantu,kayak anaknya Mbak Nia."

"Tapi kasian mbakmu. Rumah nyicil. Mobil nyicil. Yang musti bayar dia. Baju ga ganti-ganti. Mana sempat dia  belanja ya kalo tiap hari pulang malam begitu."

"Ma, ga gitu juga kali menilainya."

"Jadi gimana dong nilainya? Mama juga pernah ngelahirin dan punya anak. Mama yakin kakak kamu pasti sekarang juga ga enjoy. Ga bisa ngebesarin anak sendiri. Mama tahu banget dia pingin kayak mama, bisa ngebesarin anak sendiri."

"Tapi itu kan pilihan mbak Ana, Ma. Kalo mama kerjanya ngasih komentar begitu, mbak Ana jadi tambah berat juga kali.."

"Habis mama gemes, ga percayaan sih Ana sama mama. Udah mama bilang bakal begini kalo dia milih kawin sama Bimo. Tapi waktu itu dia ngotot. Heran deh mama, si Bimo apa make pelet ya sampe si Ana ga mau lepas gitu."

"Udahlah ma. Gaji mbak Ana gede ini. Walaupun ga semapan itu, mbak Ana dan keluarganya hidup cukup, ma. Itu kan udah bagus."

"Iya, mama tahu. Mama ga suka aja ngeliat si Bimo ini santai di rumah sedang Ana capek-capek kerja tiap hari."

"Mas Bimo kan kerja juga sih ma, tapi dari rumah."

"Beda! Lebih capek mbak Ana. Pokoknya mama ga suka sama Bimo."

"..."

[Simprug]

***

Bagas sudah tidur nyenyak. Bimo kembali menekuni layar komputernya memperhatikan digit-digit angka yang terus bertambah di tengah layar. Sekali-kali ia mengambil kalkutalor beras merek ternama. Kalau semua sesuai jadwal, perusahaan rekaman yang ia rintis dari tahun lalu akan segera beroperasi dalam waktu dekat. Pemasukan akan segera mengalir ke kantong. Selain itu, investasi Bimo di sebuah produk franchise mulai membuahkan hasil. Bisnis jual beli lain yang Bimo tekuni juga mulai menunjukan angka angka fantastis. Bimo menghitung-hitung nominal rupiah yang akan diterima bulan depan dan tersenyum simpul.

Ana, sebentar lagi kamu tidak perlu bekerja sekeras ini. Mobil dan rumah akan bisa dibayar lunas beberapa bulan lagi. Ana, ayo kita tunjukan pada mama. Tidak butuh gelar sarjana atau perusahaan asing berkantor di pusat kota untuk bisa berlibur keliling Indonesia. Bimo mulai berkhayal dengan rencana pemasukan berangka fantastis yang sebentar lagi akan menjadi kenyataan.

Tiba-tiba suara tangis Bagas memecah kesunyian. Suara tangis yang bertepatan dengan suara "ting" dari layar komputer. Seorang klien menyapa di salah satu aplikasi percakapan elektronik. Klien istimewa yang paling berkontribusi dalam memberikan angka fantastis dalam hitungan Bimo. Penting, kata si klien. Bimo tahu itu artinya ia harus segera menjawab semua pertanyaan si klien saat itu juga.  Tapi tangisan Bagas makin kencang. Kencang dan memekakan telinga, membuat pengang. Senyum simpul Bimo perlahan lenyap bertransformasi menjadi rasa kesal. Kenapa harus setiap malam Ana pulang terlambat.

[Jatinegara]

___

*Kalau baca ini, Bimo yang dimaksud itu orang yang sama. Hehe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun