Mohon tunggu...
Gitskai
Gitskai Mohon Tunggu... -

suka cerita apa saja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kebencian Mak

14 April 2010   19:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:47 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jek kawin dengan salah satu lonte terminal ini, Noni. Noni cantik, primadona terminal. Kepala preman kampung sebelah naksir berat sama Noni, tapi Noni lebih memilih Jek. Seperti yang sudah kuduga, sikap kasar Jek juga berlaku ke Noni. Noni sering kabur ke tempatku bila Jek sedang mengamuk. Ketika Noni tengah hamil, Jek tetap memukulinya. Tak heran bila kemudian  Noni main serong dengan kepala preman kampung sebelah.  Suatu pagi Noni dijemput diam-diam oleh kepala preman itu dan siangnya Noni meninggal ditabrak kereta api saat sedang naik motor bersama si kepala preman. Jek kaget dan marah. Malamnya dia minum-minum di warungku.

Jek terluka, bisa kurasakan dari sinar matanya. Dia berusaha menghibur diri dan mencari pengganti Noni di antara lonte-lonte terminal. Kubiarkan dia berganti-ganti pacar, walau aku tidak setuju. Aku galak, tapi dengan Jek, aku tak bisa marah.  Sampai suatu hari Jek pulang membawa Ayi dan menyuruh Ayi membantuku berjualan. Ayi tidak cantik, kulitnya sawo matang dan sinar mukanya angkuh. Aku tahu dia bukan orang sini dan aku yakin Ayi lonte kampung sebelah walau Ayi bilang dia bukan lonte. Aku tidak suka dengan Ayi. Sorot matanya sayu, lemah dan tidak punya semangat hidup. Aku benci orang lemah. Terminal ini bukan untuk orang manja macam dia. Tapi harus kuakui bahwa Ayi banyak membantuku berjualan. Apalagi kini aku tak muda lagi. Aku sering sakit-sakitan. Ayi tampaknya suka pada Jek. Tak berapa lama kemudian Ayi hamil. Aku tanya pada Jek apakah itu anaknya, Jek bilang tidak.

Bulan-bulan berikutnya terminal tampak lebih tertib. Jek sudah bisa mengendalikan terminal. TIngkahnya masih kasar namun dia jadi lebih cakap mengatur orang dan menyelesaikan pertengkaran. Melihat Jek seperti melihat bang Roy dulu.  Kebencian adalah sumber kekuatan bagiku. Namun entahlah buat Jek. Firasatku bilang, kebencian dalam diri Jek akan mendatangkan petaka bagi dirinya sendiri. Dan akhirnya tiba suatu hari di mana penyakitku kambuh sehingga aku  tinggal di rumah seharian. Sorenya Ayi pulang dengan muka pucat.

"Mak, Jek bikin orang mati. Sekarang ga tahu di mana."

Tiba-tiba dadaku sesak. Rasa sesak seperti dua puluh tahun yang lalu. Siapa yang Jek bunuh? Jangan-jangan orang penting. Jangan-jangan Jek sekarang sudah mampus juga, dibunuh sekutu orang yang mati itu. Atau ada Petrus lagi?

Sejak saat itu, Jek tidak pernah kelihatan lagi. Beberapa hari polisi berkeliaran di terminal. Seragam mereka membangkitkan rasa kesal yang sudah lama aku lupakan . Ayi terlihat tidak peduli. Perempuan ini masih tidak bisa memberiku rasa simpati.  Walaupun sangat ingin mengusirnya pergi, tapi akhirnya kubiarkan dia tetap di sini semata-mata karena bunting perutnya. Aku yang tidak pernah punya anak ini masih punya belas kasihan walaupun diselimuti benci.

Sebelas Juli siang Ayi melahirkan.  Bayi Ayi seorang laki-laki dan jeritannya keras seperti Jek. Kulitnya gelap seperti Jek, tapi tatapan matanya tegas seperti bang Ali. Aku tiba-tiba percaya ini anaknya Jek. Aku bilang ke Ayi namai saja anak ini Roy, dari nama bang Roy. Dia setuju, atau lebih tepatnya tidak terlalu peduli.  Roy berumur sembilan bulan ketika Ayi tiba-tiba pergi entah ke mana. Ketidaksukaanku pada Ayi, yang kini sudah berubah jadi kebencian, akhirnya terbukti benar. Lonte di terminal ini bahkan tidak ada yang meninggalkan anaknya.

Kekuatan terbesarku adalah kebencian. Dan kebencianku pada Ayi memberiku kekuatan untuk merawat anaknya sampai sekarang. Sampai sekarang Bang Roy tidak pernah kembali, Jek pun tidak pernah muncul lagi. Terminal yang sempat teratur kini mulai kacau lagi. Tapi bila Roy besar nanti, dia pasti akan mengatur semuanya. Kekuatan dan keperkasaan sudah ada dalam darahnya. Kebijaksanaan akan hidup dan hukum terminal ini, biar aku yang mewariskan padanya.

_________________________

*Cerpen ini merupakan "saudara" dari cerpen Jek dan Cerita Ayi . Silakah dibaca juga, semoga bisa menghibur dan memberi inspirasi :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun