Mohon tunggu...
Gitskai
Gitskai Mohon Tunggu... -

suka cerita apa saja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kebencian Mak

14 April 2010   19:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:47 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kamu tanya mengapa aku masih berjualan di terminal ini sampai sekarang, maka aku akan menjawab karena kebencian. Kebencian akan ketidakadilan, kebencian akan kemunafikan aparat berseragam, dan kebencian akan sundal bernama Ayi.

Kebencinanku dipupuk subur sejak hampir dua puluh tahun lalu, ketika suamiku, bang Roy, satu-satunya harta tersisa dalam hidupku, hilang. Dia direngut begitu saja, hanya karena dia bromocorah. Mereka bilang orang seperti suamiku penyebab kekacauan. Ingin kumasukan sandal ke mulut mereka. Di mana mereka waktu supir-supir bis terminal ini bertengkar hanya karena rebutan lahan mangkal? Suamiku di situ memasang dada. Di mana mereka waktu pedagang terminal ini ribut karena rebutan lahan jualan? Suamiku yang mengaturnya. Di mana mereka waktu anak-anak terminal ini dipalak preman kampung sebelah? Suamiku yang memberi pelajaran pada cecunguk-cecunguk itu. Dan di mana mereka waktu lonte terminal ini dikerjai oleh pemuda-pemuda kaya mabuk bermobil? Suamiku yang mengusir  dan memberi mereka pelajaran.

Bang Roy hilang tiba-tiba suatu siang. Esok sorenya orang bilang mayat abang ada di pinggir jalan dekat pasar. Aku datang ke sana sambil menangis, tapi mayat itu bukan mayat Bang Roy. Sekilas memang mirip, tubuh besar dan bertato di tangan. Tapi tatonya bukan tato bang Roy. Kuikuti berita di koran. Katanya aparat memang mencari orang-orang macam bang Roy. Ada yang ditangkap dan ada yang ditembak di tempat. Katanya itu hukuman untuk biang kerok kejahatan. Biang kerok taik kucing! Kebencianku makin membara.

Setelah bang Roy aku masih harus menyaksikan aparat keamanan busuk itu menculik Bang Ali, kawan bang Roy. Ditangkap paksa, dibawa dengan mobil pick-up hitam tanpa plat. Anak bang Ali, Jek, ada di situ bersamaku menyaksikan kebengisan itu. Seingatku, bahkan ketika memalak Bang Ali tidak pernah berlaku kasar macam aparat busuk itu. Esoknya mayat bang Ali ditemukan di sawah belakang lapangan bola. Diikat dan dimasukan ke dalam karung. Anjing mati pun tak diperlakukan macam itu. Hatiku panas mendidih, airmataku tumpah tak terbendung. Kubayangkan Bang Roy mungkin juga mati seperti ini entah di mana. Jek juga di situ menyaksikan mayat ayahnya. Semalaman Jek kecil  menangis dalam gendonganku. Ibunya yang lonte terminal itu baru mati sebulan yang lalu. Sejak itu Jek kuanggap anak sendiri, dia tinggal bersamaku.

Kehidupan di terminal bukan hal yang mudah.  Hidup sendiri tanpa Bang Roy seperti berjalan tanpa tahu arah. Aku masih berjualan makanan kecil di pojok terminal, tapi selalu dibayangi rasa takut setiap ada aparat keamanan yang datang. Pernah sekali ada yang datang. Aparat tak berseragam. Aku memang tak sekolah, tapi aku tak bodoh. Tanpa seragam pun aku bisa mencium bau darah dari kata-kata yang keluar dari mulutnya. DIa  bertanya-tanya tentang kawan Bang Roy yang lain. Tak kujawab.

Pengalaman hidupku membuktikan, ketidakadilan memang sesuatu yang harus diajak hidup bersama. Dan hanya kebencian lah sumber kekuatanku. Setiap pagi aku bangun dengan rasa benci membara di dadaku. Ketika ada penertiban kaki lima di terminal, kurasakan kerasnya larts sepatu aparat keparat itu menginjak-nginjak barang daganganku, dan barang dagangan kawan-kawanku. Kurasakan kerasnya pentungan mereka mengobrak-ngabrik lapak kami. Mereka bilang kami ilegal. Mereka bilang kami jorok. Mereka bilang kami liar. Ingin kumasukan sampah busuk ke dalam kerongkongan mereka.  Mereka suruh kami berjualan di lapak baru berlantai keramik dengan harga sewa selangit dan tempatnya sepi pembeli. Taik kucing.

Sekali lagi aku tegaskan, kebencianlah yang memberi ku kekuatan mental dan ketegaran hari untuk terus bertahan berjualan di terminal ini. Aku belajar berkompromi, aku belajar bernegosiasi, aku ingat-ingat semua cara bang Roy untuk dapat berkawan dengan semua orang di terminal ini. Aku belajar kapan harus membentak dan marah, aku belajar kapan harus baik dan ramah.  Aku mulai berani vokal bila ada isu-isu terkait kehidupan terminal ini. Aku mulai berani pasang badan ketika aparat menggusur pedagang kaki lima. Aku perbolehkan orang terminal berhutang padaku. Aku akan menegur supir yang  kelakuannya buruk bila kebetulan makan di warungku. Orang terminal sini mulai menghargai kehadiranku. Mereka memanggiku Mak. Nama asliku Mariam Nidar.

Aku juga jadi tempat bercerita lonte-lonte terminal dan pengamen-pengamen.  Terminal ini terkenal dengan lonte-lontenya. Lewat cerita-cerita kecil selalu kunasehati lonte-lonte itu agar jangan jadi orang lemah. "Kalian memang cuma lonte, tapi lonte punya harga diri. Jangan mau dibayar terlalu murah. Kalau memang sudah tak punya uang untuk makan, bilang sama Mak. Kalau makan sekali dua kali Mak masih bisa bantu, tapi bukan berarti kalian bisa jadi orang malas!".

Aku juga memprakarsai terbentuknya koperasi untuk orang-orang terminal. Seorang guru SD yang sering mampir makan di warungku yang memberitahu aku cara mengelolanya. Pertama kucoba dulu dengan lonte-lonte terminal, uangnya diputar untuk jual beli kosmetik, yang merupakan kebutuhan mereka. Dan ternyata berhasil! Lalu mulai meluas ke sopir-sopir, kenek-kenek. Setelah semuanya berjalan baik, penggusuran pedagang kaki lima kembali terjadi lagi. Tanah sebelah terminal, tempat kami membuka lapak katanya mau diubah jadi mall. Setelah penggusuran, bubar jalan lah koperasi kami.

Telah kulakukan semua sebisaku untuk menunjukan bahwa kami, orang terminal tetap bisa bertahan hidup. Namun tetap saja apa yang kulakukan tidak akan sehebat bang Roy. Aku tidak bisa berbuat apa-apa ketika akhirnya sopir antar jurusan bertengkar, atau melerai perkelahian antar pengamen. Aku saksikan regenersi seluruh isi terminal ini. Lonte-lonte terminal beranak, anaknya jadi lonte. Pedagang dan pengamen beranak, anaknya lalu jadi pedagang dan pengamen. Sopir bis dan kenek beranak, anaknya lalu jadi sopir dan kenek. Sayang aku dan Bang Roy tidak punya anak, tidak ada Bang Roy baru untuk terminal ini.

Sementara Jek, dia sudah tumbuh dewasa. Kasar, sangar, galak dan kuat. Dia sekolah sampai SMA, tapi belajar tentang hidup dari terminal ini. Belajar jadi kenek, belajar jadi sopir, belajar jadi pengamen, belajar jadi pedagang, dan denganku kuajari dia segala kata-kata bijak bang Roy. Jadilah akhirnya Jek preman terminal ini, sama seperti Bapaknya dulu. Memungut iuran dari lonte, sopir, pedagang, lalu memberikan imbalan berupa perlindungan terhadap preman kampung sebelah dan pungli dari oknum tidak bertanggungjawab. Jek ditakuti, namun tidak seperti Bang Ali yang ditakuti karena berkharisma, Jek ditakuti karena kelakuannya yang kasar dan kejam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun