Mohon tunggu...
Gitskai
Gitskai Mohon Tunggu... -

suka cerita apa saja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tapi Dia Ga Bunuh Diri Kok..

22 April 2010   04:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:39 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[bukan mulutmu yang dicium]

"Tadi sudah sampai mana? Kaki? Nah naik sedikit ke perut, ke pinggang. Siapa yang sering ngomel gendut? Hayo... yang penting pencernaannya sehat. Ayo sekarang dipegang pingganggnya masing-masing. Disayang-sayang.. Berapapun besarnya atau kecilnya, itu anugerah Tuhan. Jangan disiksa dengan diet yang tidak sehat. Ayo dielus perutnya, disayang dan disyukuri."

[bukan perutmu yang dikangkangi]

"Nah, yang ini terakhir yang paling vital bagi kita wanita. Vagina. Gua garba ini adalah harta berharga yang harus kita jaga sekuat tenaga. Hanya mereka yang rendah yang membiarkan anugerah indah yang tadi sudah kita syukuri itu dinikmati kaum lelaki sebelum waktunya. Apalagi yang ini ni.  Jaga baik-baik dan syukuri karena diberi Tuhan dalam keadaan lengkap dan berfungsi normal."

[bukan vaginamu yang diperkosa]

"Bukan main sempurnanya ya tubuh kita manusia? Dengan segala organnya yang sempurna ini, masih diberi pula nafas kehidupan lewat rahim ibu-ibu kita. Luar biasa bukan? Kehidupan yang muncul dari rahim sungguh misteri yang patut untuk dikagumi. Oleh karena itu membunuh cikal bakal kehidupan dalam rahim begitu menyedihkan. Aborsi itu adalah hal keji. Penolakan terhadap penciptaan karya Tuhan. Penolakan akan kehidupan yang sempurna. Suatu penghinaan akan kedasyatan fungsi rahim wanita."

[bukan rahimmu yang dibuahi].

Penceramah itu masih saja berkicau tidak berhenti.

Lalu di kamar mandi, ada wanita jongkok sedang menangis. Di sampingnya ada pisau mengkilat berwarna hitam. Dia menggigit bibir, merasa jijik dan muak. Dia membenci rasa menusuk yang sekarang meradang di perut bawahnya. Dia lalu berdoa supaya boleh jangan merasa apa pun lagi di tetesan merah yang terakhir.

[maka tolonglah, jangan hakimi aku lagi]

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun