Mohon tunggu...
Gitskai
Gitskai Mohon Tunggu... -

suka cerita apa saja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tapi Dia Ga Bunuh Diri Kok..

22 April 2010   04:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:39 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Hidup itu sungguh indah. Ya nggak? Kita sudah seharusnya bersyukur akan setiap nafas yang bisa kita hirup bebas setiap detiknya."

[bukan hidupmu yang dinodai]

"Lihat apa yang Tuhan kasih di wajah kita. Mata, mulut, hidung, telinga. Sempurna sekali. Dengan mata bisa melihat jelas, dengan hidung bisa menghirup udara bebas, dengan telinga bisa mendengar banyak suara. Sungguh sempurna. Sekarang coba disentuh pelang-pelan wajahnya dan disyukuri ya."

[bukan wajahmu yang dibekap].

"Dan lihatlah betapa sempurnanya kita manusia. Tuhan kasih semua organ-organ begitu baiknya. Ayo sekarang pandangi tangan kita. Coba bayangkan, tanpa tangan apa yang bisa kita lakukan. Semuanya pakai tangan kan? Mencuci, mengepel, memasak. Walau hanya dua dan jarinya masing-masing lima, tapi semuanya punya fungsinya sendiri. Saling bekerja sama untuk melakukan apa pun dalam hidup kita.  Tangan kita begitu sempurna. Ayo sekarang tangannya dipijat-pijat, disayang-sayang dan disyukuri."

[bukan tanganmu yang disentuh]

"Dan kaki kita, sama menakjubkannya. Hanya dua tapi bisa menjaga keseimbangan tubuh. Ayo coba lihat. Dari ujung kaki, sampai pangkal paha. Luar biasa kuatnya ya. Jangan suka berkeluh kesah kalau betisnya besar atau pahanya berselulit. Lihat fungsinya. Menegakkan tubuh menantang dunia. Sungguh sempurna. Nah ayo dipijat-pijat kakinya, disayang-sayang dan disyukuri ya."

[bukan pahamu yang diraba]

"Dan aduh, itu duduknya jangan bungkuk. Bangga dong dengan diri sendiri. Tegakkan dada, tunjukan siapa diri kita. Jangan malu dengan ukuran loh. Besar kecil bukan takaran cermin kepribadian. Yang penting sehat dan kalau melahirkan keluar air susu ibunya. Ini juga salah satu anugerah Tuhan yang patut disyukuri ya. Mau cup A, B, C, D harus disyukuri ya itu dadanya."

[bukan dadamu yang diremas]

"Healah, jangan ngomong kasar. Mulut ini walau kecil tapi kalau dilihat sangat menakjubkan.  Walau kecil merekah, namun fungsinya begitu vital. Untuk mengunyah, menelan sumber-sumber tenaga untuk kehidupan. Dan juga untuk mengeluarkan semua hasil pergumulan sel-sel kelabu dalam kepala kita. Jadi janganlah fungsi itu disalahgunakan untuk berkata-kata yang tidak-tidak. Tapi bersyukurlah akan mulut sempurna yang diberi pada kita. Ayo dipegang dan disyukuri mulutnya ."

[bukan mulutmu yang dicium]

"Tadi sudah sampai mana? Kaki? Nah naik sedikit ke perut, ke pinggang. Siapa yang sering ngomel gendut? Hayo... yang penting pencernaannya sehat. Ayo sekarang dipegang pingganggnya masing-masing. Disayang-sayang.. Berapapun besarnya atau kecilnya, itu anugerah Tuhan. Jangan disiksa dengan diet yang tidak sehat. Ayo dielus perutnya, disayang dan disyukuri."

[bukan perutmu yang dikangkangi]

"Nah, yang ini terakhir yang paling vital bagi kita wanita. Vagina. Gua garba ini adalah harta berharga yang harus kita jaga sekuat tenaga. Hanya mereka yang rendah yang membiarkan anugerah indah yang tadi sudah kita syukuri itu dinikmati kaum lelaki sebelum waktunya. Apalagi yang ini ni.  Jaga baik-baik dan syukuri karena diberi Tuhan dalam keadaan lengkap dan berfungsi normal."

[bukan vaginamu yang diperkosa]

"Bukan main sempurnanya ya tubuh kita manusia? Dengan segala organnya yang sempurna ini, masih diberi pula nafas kehidupan lewat rahim ibu-ibu kita. Luar biasa bukan? Kehidupan yang muncul dari rahim sungguh misteri yang patut untuk dikagumi. Oleh karena itu membunuh cikal bakal kehidupan dalam rahim begitu menyedihkan. Aborsi itu adalah hal keji. Penolakan terhadap penciptaan karya Tuhan. Penolakan akan kehidupan yang sempurna. Suatu penghinaan akan kedasyatan fungsi rahim wanita."

[bukan rahimmu yang dibuahi].

Penceramah itu masih saja berkicau tidak berhenti.

Lalu di kamar mandi, ada wanita jongkok sedang menangis. Di sampingnya ada pisau mengkilat berwarna hitam. Dia menggigit bibir, merasa jijik dan muak. Dia membenci rasa menusuk yang sekarang meradang di perut bawahnya. Dia lalu berdoa supaya boleh jangan merasa apa pun lagi di tetesan merah yang terakhir.

[maka tolonglah, jangan hakimi aku lagi]

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun