Mohon tunggu...
Gitskai
Gitskai Mohon Tunggu... -

suka cerita apa saja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerita Ayi

13 April 2010   02:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:50 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku masih tidak bisa berpikir. Malam ini aku memutuskan tidak akan pulang ke rumah lagi atau ke mana pun. Kantongku kosong. Lembaran terakhir berwarna ungu itu sudah berubah menjadi mangkok bakso dan teh botol yang telah kuhabiskan berjam-jam yang lalu. Langit cerah tapi udaranya begitu dingin menusuk. Baru kali ini langit malam begitu membosankan.

Kota yang asing. Terminal ini masih saja ramai. Tiba-tiba ada tangan hangat menyentuh kepalaku. Refleks aku menepisnya. Seorang lelaki ceking ikut duduk di sampingku. Bau rokok.

"Kamu kesasar ya?"

"Engga bang."

"Ga punya ongkos pulang?"

Aku diam.

"Nih.. Cepet pulang. Ga baek di sini sendirian malam-malam."

Dia menyusupkan lembaran hijau ke  dalam genggaman tanganku. Tangannya terasa hangat.

"Engga bang. Makasih."

Hening. Lalu dia diam menatapku. Aku juga diam menatapnya. Dia melihatku dengan seksama. Aku tahu dia sedang mempelajari asal-usulku. Dan bisakah dia melihat mataku bengkak? Aku menangis terus tidak berhenti sejak tiga hari yang lalu.

"Ikut abang aja mau?"

"Ke mana?"

"Jalan aja ke situ. BIsa istirahat atau tidur kalau memang ga mau pulang." Ia menunjuk ke suatu arah.

Aku diam. Ada kehangatan yang tidak bisa aku jelaskan menyeruak ke dalam dadaku.  Dan dia bangkit berdiri. Aku juga. Dia berjalan. Aku mengikuti.

"Punya nama?"

"Punya."

"Siapa?"

"Ayi"

Hening lagi. Aku tidak tertarik sama sekali untuk tahu namanya. Dia lalu menggandeng tanganku. Aku diam. Dia merangkul pingganggku. Aku diam.

"Biar mereka ga ganggu kamu," katanya sambil melirik ke sekumpulan pengamen yang kami lewati.

Kami masuk ke gang kecil, kampung belakang terminal. Sepi. Dia mencium pipiku. Aku masih diam. Melihat reaksi dinginku, dia lalu melepaskan rangkulannya.

Dan sampai kami di sebuah kamar kontrakan kecil tanpa halaman. Dia persilakan aku masuk. Kamar bau apek tanpa kamar mandi. Hanya ada tempat tidur dan tumpukan kardus berisi baju bercampur gelas dan piring. "Tidur di sini saja." Dan aku menurut. Aku langsung jatuh tertidur karena lelah juga. Dia sempat merokok sebentar di samping tempat tidur. Samar-samar di antara khayalan dan mimpi aku merasakan tangannya yang hangat memegang keningku, lalu sesaat kemudian ada suara pintu ditutup.

***

Esoknya ketika aku bangun dia memberikan aku satu kantong plastik berisi baju-baju yang bagiku sangat kampungan."Kamu bisa disikat orang kalau pake baju kayak gitu." Dia menunjuk belahan bajuku yang aga rendah. Dia juga memberiku nasi bungkus dan air mineral. Dia bilang air lagi mati sehingga tidak bisa ke kamar mandi. Tapi katanya bisa pakai kamar mandi terminal.

Selesai makan dan ganti baju, dia mengajakku jalan ke terminal. Dia mengenalkan aku ke Mak. Mak punya warung di terminal. Bukan warung juga sebenarnya. Hanya sebuah bakul berisi kue-kue dan sebuah termos lengkap dengan gelas plastik dan beberapa kopi saset.

"Siapa ini Jek?"

"Pokoknya kalo Mak kumat sakitnya, cari dia aja. Biar dia yang bantu jualannya Mak."

Aku diam. Tidak mengiyakan. Tidak menolak juga. Dan aku tahu Mak tidak suka denganku. Bisa kurasakan dari tatapannya. Dan pria ceking ini bernama Jek rupanya. Jek lalu pamit narik. Aku ditinggal bersama Mak. Mak menyuruhku makan

Awalnya aku hanya melihat Mak saja, aku tidak tertarik sama sekali membantu. Tapi dia kemudian mulai berani menyuruhku, dan bahkan membentakku untuk mengambil ini itu. Aku diam saja. Meyakinkan diriku bahwa ini jauh lebih baik daripada harus pulang ke rumah.

Malam menjelang lagi dan Mak memberitahu aku beberapa orang penting di terminal ini. Aku hanya menganggapi dengan lalu karena tidak tertarik untuk tahu. Mak lalu bilang, "Kamu jangan anggap remeh orang terminal ya. Mak tahu kamu bukan orang sini dan Mak ga suka sama kamu. Tapi karena Jek yang bawa kamu ke sini, Mak mau baik-baikin kamu ya. Dan bukan cuma Mak, semua orang terminal juga akan baik ke kamu. Biar kami orang terminal juga kalo udah keluarga bakal dijagain." Aku merinding, tapi hanya bisa diam menunduk sambil berusaha mencerna apa maksudnya.

Tak lama Jek datang menjemputku. Kami pulang dan dia menunjukan aku kamar mandi dekat kontrakannya yang bisa dipakai. Untuk pertama kali aku mandi setelah meninggalkan rumah dua hari lalu. Aku mandi bersama seekor cicak dan kecoa di ujung pintu. Airnya dingin, dan dasar baknya bercacing. Kamar mandinya bau kencing. Aku muntah akhirnya, karena tidak tahan dengan bau pesing.

Jek tidur disampingku malam itu.  Lalu dia memeluk badanku. Aku diam. Lalu dia meraba. Aku diam. Lalu dia meremas. Aku diam. Lalu dia mencium. Aku diam. Lalu dia mematikan lampu. Aku masih diam.

Setelah keheningan panjang yang melelahkan itu, Jek bertanya kepadaku.

"Kamu lagi hamil?"

"Tahu dari mana?"

"Keras," ia menyentuh dadaku.

Aku menangis lagi. Jek menyalakan rokoknya.  Duduk menerawang. Lalu tangannya menyeka air mataku. Tangannya sungguh hangat. Dan perasaan hangat itu menyeruak lagi di dadaku. Aku jatuh tertidur di pelukan Jek.

***

Lima bulan berlalu. Hidupku dimulai dari nol. Aku tinggal bersama Jek. Aku sudah tahu sedikit hukum rimba terminal ini. Mak dan Jek adalah tempat aman untuk berlindung.  Jek ditakuti orang-orang terminal. Yang kutahu dari cerita yang kudengar, dia pernah jadi pengamen, kenek dan sopir  juga pernah dilakoni. Sedangkan Mak dihormati orang-orang. Mak yang paling tahu sejarah datang perginya orang-orang di terminal ini. Dari semua orang di terminal, Mak paling sayang dengan Jek.Mak bilang, Setelah sekian lama, Jek satu-satunya orang yang bisa membuat kehidupan terminal ini ramai tapi tidak rusuh. Aku kurang mengerti.

Mak masih tidak suka denganku, tapi penyakit gulanya memaksa dia untuk mulai mempercayaiku mengelola dagangannya. Meski tidak suka, Mak mengakui aku telaten dalam berjualan. Toh aku juga tidak minta diupah.

Jek menafkahiku sebenarnya. Dia entah bagaimana selalu punya uang untuk membelikan aku susu. Jek juga memberiku uang tiap bulang. Tidak pernah kupakai. Untuk jaga-jaga. Dan aku sudah punya dua kantong plastik isi pakaian bayi dari Jek. Tapi Jek tidak pernah menyentuhku lagi. Aku sudah bilang kalau mau boleh, dia tertawa saja. Dia hanya menggandeng atau merangkulku di terminal."Biar kamu ga diapa-apain." katanya.  Ya aku tahu. Lagipula tangannya hangat.  Aku suka.

Pernah suatu malam dia kutanya apakah dia cinta padaku. Aku bilang aku mungkin cinta padanya. Dia tiba-tiba memelukku erat-erat. Jek bilang dia tidak tahu rasanya cinta.

Kemudian baru kutahu dari Mak bahwa dulu Jek sudah punya istri. Waktu hamil tiga bulan istrinya kabur bersama preman kampung sebelah karena tak tahan selalu dipukuli oleh Jek. Tak lama kemudian istrinya kecelakaan dan meninggal. Mak bilang, sejak itu Jek frustasi dan kerjanya gonta ganti pacar. Hampir semua lonte terminal ini sudah pernah tidur dengannya, tapi cuma aku yang diajak tinggal bersama. Aku bilang pada Mak aku bukan lonte. Aku bilang juga Jek tidak pernah main tangan denganku. Mak tertawa sinis.

Sampai tiba-tiba di suatu sore tragedi itu terjadi. Jek berkelahi. Aku hanya melihat dari kejauhan. Baru kali ini aku melihat Jek marah dan memukuli orang sekasar itu. Kata orang Jek memukuli copet. Tapi kata orang yang lain Jek memukuli kepala preman kampung tetangga.  Yang kutahu orang yang dipukuli Jek mati. Dan setelah itu Jek menghilang.

Kepergian Jek sempat membuatku takut akan diusir dari terminal ini. Tapi Mak tetap bersikap biasa. Posisi Jek sebagai orang penting di terminal ini diambil alih beberapa kali oleh orang yang berbeda. Namun sampai sekarang tidak ada yang bertahan lebih lama dari dua bulan. Dan setiap pengganti Jek selalu menafkahiku setiap hari dengan jumlah uang persis seperti yang biasa Jek berikan. Awalnya aku menolak, tapi mereka memaksa. Mereka juga tanpa sungkan akan menggenggam tanganku di terminal. Beberapa bahkan tidur denganku di kontrakan Jek. Aku tidak menolak.

"Ini perintah bang Jek" kata mereka waktu kutanya kenapa.

"Kapan dia bilang?" aku tanya lagi. Tapi mereka cuma bisa diam.

Menjelang kelahiran anakku, Jek masih belum muncul juga. Suatu malam aku mimpi Jek pulang dan menggenggam tanganku, lalu mengecup perutku yang bunting. Besoknya, aku merasa perut dan tanganku hangat. Lalu kelahiranku terjadi siangnya, ketika  aku sedang membantu Mak. Anakku seorang laki-laki. Sehat dan matanya bulat. Mak bilang wajahnya mirip Jek. Sejak itu Mak mulai lebih ramah padaku, begitu juga orang terminal lainnya.

Dan sampai di sini kisahku dengan Jek. Sampai hari ini Jek tidak pernah kembali lagi.

________________________

*Ini seperti "anak cerita" dari cerpen saya sebelumnya yang judulnya "Jek". Semoga terhibur :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun