Mohon tunggu...
Laura Irawati
Laura Irawati Mohon Tunggu... Direktur Piwku Kota Cilegon (www.piwku.com), CEO Jagur Communication (www.jagurtravel.com, www.jagurweb.com) -

Mother, with 4 kids. Just living is not enough... one must have sunshine, most persistent and urgent question is, 'What are you doing for others?' ;)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cakar Kera Siluman Milik Pak Mamid

24 Juli 2016   07:11 Diperbarui: 24 Juli 2016   08:46 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
“Dunia Hitam Putih” (destinasion.co.id)

“Pokoknya saya ingin bicara langsung dengan Ibu,”Pak Mamid akhirnya mengakhiri telponnya.

Pak Mamid petugas jaga malam di kantor kami. Kami sebenarnya jarang bertemu dengannya, karena saat kami semua datang bekerja beliau sudah lepas dinas. Kecuali saat ambil gaji, atau sewaktu kami melayat ketika anak nomor duanya meninggal dua bulan lalu.

Siang, setelah menyelesaikan beberapa urusan terkait pekerjaanku di luar, Siska sekretarisku melapor. “Ada Pak Mamid nunggu dari tadi, Bu.”

Kuminta Siska menemaniku menemui Pak Mamid. Dan tak seperti biasanya, wajah Pak Mamid yang sehari-harinya sering melucu itu kini tegang dan keruh. Nampaknya dia kurang tidur dan seperti memikirkan sesuatu yang berat. Mungkin kepergian anaknya telah membuat pukulan tersendiri pada jiwanya.

Pak Mamid menjelaskan kedatangannya bahwa dia minta izin untuk tidak bekerja selama seminggu. Dia akan pergi ke suatu daerah di Sumatra. “Saya harus mengembalikan sesuatu kesana, yang seharusnya sudah lama saya lakukan,” ujarnya.

Prinsipnya, kami sih tak keberatan, toh ada si Soleh office boykami yang sementara dapat menggantikan tugas Pak Mamid. Akan tetapi aku dan Siska penasaran dengan alasan kepergiannya. Berkali-kali kami berdua mendesak agar dia mau menceritakannya, Pak Mamid tetap bungkam.

Baru setelah Siska ‘menuduh’ bahwa dia hanya mengada-ada, Pak Mamid mengisahkan sebuah cerita yang membuat aku dan Siska merinding.

Diawali pertemuannya dengan orang misterius yang ia tolong dalam sebuah peristiwa, sebagai balas jasa, si orang misterius itu memberinya hadiah. Pak Mamid menunjukan sebuah benda yang dibungkus kain putih. Cakar seekor kera yang masih berbulu.

Menurut orang misterius itu, dengan mengucapkan mantera yang diajarkannya, benda ini dapat mengabulkan apa pun permintaan manusia. Hanya saja, konsekwensinya, manusia tersebut harus merelakan orang yang dikasihinya untuk menjadi ‘wadal’ atau tumbal.

Wah, ini sudah musrik, batinku. Kalau benar benda ini bertuah seperti apa yang diceritakan Pak Mamid, presiden Indonesia gak harus susah-susah nyari pinjaman luar negri untuk mengatasi keuangan negara ini. Gunakan saja benda ini.

Pengen segera Pak Mamid mengakhiri kisah seramnya ini, karena jam dua aku sudah harus menghadiri sebuah rapat lagi. Tapi, si Siska malah yang antusias mendengarkan cerita Pak Mamid ini.

“Saya sebenarnya tidak mau menggunakan ‘kekuatan’ benda ini. Saya tau itu musrik, Bu. Akan tetapi istri saya memaksa saya menggunakannya, demi ia ingin agar anak kami yang pertama pulang ke rumah berkumpul lagi,” Pak Mamid melanjutkan ceritanya.

Anak pertamanya memang akhirnya pulang dari Kalimantan, tapi Pak Mamid dan istrinya tak menyangka kalau ‘tebusan’ atas permintaanya itu adalah nyawa anak keduanya.

Aku terpaksa harus menyetop cerita Pak Mamid ini. Jam sudah menunjukan pukul 14.00. Bakal terlambat nih semua agenda hanya karena mendengarkan kisah tahyul diluar nalar dan logikaku.

Dan aku pun sudah melupakan cerita Pak Mamid itu. Hingga pada suatu malam, Siska menelponku dengan suara histeris. “Mamah sedang sekarat di UGD! Tolong kami...!”

Tanpa babibu lagi, dengan diantar suami, aku mendatangi rumah sakit tempat mamah Siska dirawat. Mamah Siska memang sudah tak tertolong lagi ketika aku dan suami tiba di RS. Aku memeluk Siska yang sedang histeris.

“Ini semua salah Siska... seharusnya Mamah gak mengalami ini semua...” Siska tak henti-henti meracau di tengah tangis histerisnya.

“Sabar, Sis. Kamu harus tabah. Relakan kepergian Mamah ya....” Kupeluk dia dengan erat agar dia tenang.  

“Tidak! Ini semua salah Siska....! Seandainya saja....saya tak meminta kepada benda iblis itu....” suara Siska setengah berbisik di telingaku.

“Maksudmu...? Benda iblis apa, Sis?”  

Setelah tenang, Siska menceritakan kepadaku tentang pertemuan beberapa hari yang lalu dengan Pak Mamid itu. Sebelum Pak Mamid membuang cakar kera siluman itu, dia memohon-mohon kepada Pak Mamid agar menggunakan benda itu untuk mengatasi permasalahan yang sedang membelitnya.

Siska bercerita, saat itu ia dalam kondisi tertekan akibat terlilit utang. “Seperginya mbak dari kantor, saya memohon agar Pak Mamid mau menolong saya menggunakan tuah dari benda itu sebelum dikembalikan ke tempatnya. Saya panik, mbak. Kalau dalam minggu-minggu itu saya gak segera melunasi utang kami rumah kami akan disita.”

“Ayolah, Sis... Ini semua sudah menjadi kehendak Allah, bukan karena benda itu...”

“Benar, mbak. Tapi esoknya, teman bisnis saya menelpon, bahwa ia akan mentransfer uang. Bisnis yang dulu kami jalankan bersama sukses katanya. Dia mentransfer uang sejumlah sama persis dengan jumlah utang kami, mbak.”

“Saya gak tau kalau mamah yang harus menjadi tumbal.....” Tangis Siska pun kembali meledak.

Aku hanya diam tak berkata sepatah pun. Semuanya tiba-tiba menjadi aneh bagiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun