Mbok Sarkem tak kuasa menahan sakitnya. Tumor ganas di payudaranya sepertinya kini menggerogoti jiwanya setelah menggerogoti habis tubuhnya. Tubuhnya kini hanyalah rangkaian tulang belulang dibalut kulitnya yang keriput.
Yang dapat ia lakukan kini hanya pasrah. Pasrah dengan rasa sakitnya dan otot-ototnya yang menua.
Sarkem tua tinggal sebatang-kara di gubuknya yang lebih mirip kandang. Tergolek di tikar lusuh tanpa pernah ada orang datang merawatnya. Dari hari pertama puasa ia tak berpuasa.
Biasanya di Bulan Ramadan ini datang sekelompok remaja mesjid menyantuni gubuknya, memberinya uang untuk berobat, makanan dan baju bekas. Tapi bulan puasa kali ini mereka belum datang.
Mbok Sarkem merangkak tertatih-tatih. Tangannya berusaha menjangkau gelas minumnya. Hanya ada air putih yang ia rebus dua hari yang lalu. Urusan makan, biasanya datang si Sum anak tetangganya yang setiap hari membawakan makanan.
Sudah tiga bulan ini Mbok Sarkem tidak memulung sampah plastik. Rasa sakit akibat tumor ini tak bisa diajak kompromi. Tak ada plastik, tak ada yang bisa ditimbang. Itu berarti tak ada uang diterimanya. Dan tak ada uang, tak ada nasi dan lauk yang dapat dibelinya.
Sudah menjelang berbuka, Sum tak jua menampakkan batang hidungnya. Kemana gerangan anak itu? Perut Sarkem yang kecil pun semakin mengecil, ramai oleh suara cacing di dalamnya. Bulan puasa ini Sum mengantar makanan menjelang buka puasa.
Mbok Sarkem sering mendengar ceramah ibu-ibu majelis taqlik setempat dari speaker mushola, bahwa Tuhan sering mengirim malaikat untuk orang-orang yang menderita dalam kesabaran seperti dirinya.
Menderita? Menderita dalam kesabaran? Mbok Sarkem tak bisa membedakan apa itu hidup menderita, apa itu kesabaran. Hidup seperti ini sudah dilakoninya berpuluh-puluh tahun. Yang ia tahu hidup memang harus begini.
Baginya, kebahagiaan adalah apabila Sum datang mengantarkan makanan. Biasanya Sum juga mengajaknya berbicara sambil memijat tubuhnya yang hanya tinggal belulang. Keceriaan anak itu menimbulkan sebuah getaran tersendiri di hatinya yang tak pernah ia dapatkan. Itu lah mungkin yang disebut kebahagiaan. Ia yakin Sum, anak kelas 5 SD berwajah bulat dengan gigi tengah ompong itu adalah malaikat yang dikirim Tuhan baginya agar ia bisa mendapatkan kebahagiaan.
Sum anak pertama si Karsih. Hanya rumah Karsih yang terdekat dari rumahnya. Karsih dan suaminya pemulung juga seperti dirinya. Sama-sama miskin. Tapi baik Karsih, Sum atau suaminya memiliki hati bak orang kaya. Selalu menyantuninya, walau untuk makan sehari-hari pun mereka kekurangan.
Kemana kah engkau, Sum? Kemana kah malaikat yang selalu dikirim Tuhan itu?
Sarkem mendengar pintu rumahnya yang reot dibuka seseorang.
“Sum, kamu kah itu?” suara Mbok Sarkem lirih karena menahan rasa sakitnya.
Orang yang masuk itu seorang anak muda. Wajahnya manis seperti kelinci. Dia hanya tersenyum. “Saya bukan Sum, Mbok.”
Anak muda itu berpakaian bagus dan bersih. Kulitnya putih sepertinya ia tak pernah terkena panas matahari. Mbok Sarkem menduga kalau anak muda ini anggota remaja mesjid yang biasa mengunjunginya.
“Saya dikirim untuk menjemput Mbok.”
“Mau dibawa kemana saya? Tidak! Saya tak mau pergi kemana-mana. Siapa kamu...?”
“Saya Izra’il, Mbok,” jawab anak muda itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H