optimisindonesia.net
Sosialita ibu-ibu di komplek itu kalau gak di tempat arisan, paling-paling di tukang sayur. Ada saja bahan gosip yang bisa diomongin di kedua tempat itu.
Kali ini ibu-ibu memprotes kebijakan Mang Enjat, si Tukang Sayur yang menaikan harga cabe merah dari Rp 40 ribu per kilo jadi Rp 50 ribu.
Tapi bukan Mang Enjat namanya kalau gak ngeles. Mirip bajay. Sehari-hari bernegosiasi dengan ibu-ibu membuat lidahnya loncer dalam membuat argumentasi penyebab ia menaikan harga.
“Yaelah, Bu. Saya mah gak naikin harga. Duit kita aja yang emang merosot nilainya karena dikorupsi triliun-triliunan. Ibu-ibu ini pada nonton tipi engga sih? Tuh ada satu buronan BLBI yang ketangkep, dan masih banyak sih katanya yang belom ketangkep. Katanya sih, negara kita duitnya dirampok triliun-triliunan di siang bolong sama mereka.”
Wueleh, Mang Enjat kesurupan setan apa ya? Sudah mirip Pak Faisal Basri aja ngejelasin tentang arti inflasi. Bawa-bawa BLBI lagi. Nih jangan-jangan Mang Enjat sedang ngalihin isu dari kenaikan harga cabe ke urusan BLBI?
Memang sih menurut para ekonom, kerugian negara yang diakibatkan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhitung sangat besar. Dari uang negara Rp 650 triliun guna penanganan krisis, dana yang disalurkan sedikitnya mencapai Rp 320 triliun. Rp 175,3 triliun diterima bank pemerintah dan Rp 144,5 triliun diterima 48 bank umum swasta nasional.
Tindak pidana korupsi dalam bentuk penyelewengan dana itu jelas sangat membebani keuangan negara. Setiap tahun, sebanyak Rp 40 triliun-Rp 60 triliun dana APBN digunakan untuk membayar obligasi rekap BLBI. Besarnya dana ini mau tak mau menyedot anggaran untuk publik, seperti dana pendidikan dan kesehatan. Dengan asumsi pertumbuhan 12 persen, maka beban APBN untuk menuntaskan BLBI baru akan lunas pada 2030.
Tertangkapnya Samadikun Hartono yang menjadi buronan selama 13 tahun adalah kabar gembira bagi rakyat Indonesia. Dengan tertangkapnya koruptor pemilik Bank Modern yang telah menyelewengkan dana talangan BLBI ini rakyat berharap dikembalikannya kerugian negara senilai Rp 2,5 triliun yang digondol koruptor ini. Samadikun ditangkap BIN saat akan menonton balap mobil F1 di Shanghai.
Selain Samadikun, Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat daftar nama buronan koruptor BLBI lainnya yang kabur ke luar negeri dengan menggondol uang negara. Pengadilan telah menjatuhkan vonis in abenstia kepada nama-nama berikut:
- Sjamsul Nursalim (Bank BDNI. Perkiraan kerugian negara mencapai Rp 6,9 triliun dan 96,7 juta dollar Amerika. Namun kasusnya di-SP3 oleh Kejaksaan),
- Bambang Sutrisno (Bank Surya. Perkiraan kerugian negara mencapai Rp 1,5 triliun),
- Andrian Kiki Ariawan (Bank Surya. Perkiraan kerugian negara mencapai Rp 1,5 triliun),
- Eko Adi Putranto bersama Sherny Konjongiang (Bank BHS. Perkiraan kerugian negara sebesar Rp 2,659 triliun),
- David Nusa Wijaya(Bank Servitia Perkiraan kerugian negara sebesar Rp 1,29 triliun),
- Agus Anwar (Bank Pelita. Diperkirakan kerugian negara sebesar Rp. 1,9 triliun), di samping masih banyak lagi nama buronan lainnya.
Mang Enjat pun geleng-geleng kepala.
“Saya mah engga habis pikir Bu. Bagaimana caranya ya orang-orang itu ngerampok duit sebanyak itu? Berapa truck ya yang dipake buat ngangkutin duitnya? Itu ngerampok apa pindahan? Masa yang jaga engga ada yang pada tau sih?”
“Yee.. Mang Enjat. Orang-orang itu sih nyurinya gak pake truck-truckan, tapi pake surat...”
“Euleuh, euleuh... hari gini masih pake surat? Kenapa gak pake SMS aja ya...?”
Lama-lama pengen deh nyubit bibirnya Mang Enjat ini. Tapi pake tang.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri berhasil mengungkap modus yang diduga digunakan terjadinya tindak pidana korupsi pada kasus BLBI. Modus itu terjadi sewaktu pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL). Modus Pertama, SKL yang diterbitkan dengan proses dan jaminan. Jaminan yang diberikan ada yang betul sesuai dengan fakta, tapi ada juga yang tak sesuai dengan yang dijaminkan.
Modus Kedua, ada jaminan aset yang diberikan sebagai pembayar utang tapi asetnya belum cukup lengkap dan ketidaklengkapan itu sebenarnya diketahui, tapi tetap saja diberikan SKL. Dan Terakhir, bisa juga SKL ini akan diberikan, tapi pelaksanaanya tidak sesuai.
Mang Enjat yang merasa telah berhasil mengalihkan isu dari protes ibu-ibu itu kelihatan riang gembira. Baginya, toh ia hanya seorang pedagang sayur. Mau terjadi inflasi atau tidak harga sayur naik ia tinggal naikin, harga turun ya tinggal turunin. Itu juga kalu ada yang tau. Simpel kan?
“Ibu-ibu, jadi engga beli cabenya?”
“Engga ah. Mahal.”
“Huh, dasar ibu-ibu. Nawar aja kayak beneran, beli mah engga. Terus kalau begini caranya kapan saya bisa naek haji? Masa tukang bubur aja yang boleh naek haji?” ujar Mang Enjat bersungut-sungut.
“Sayuuur... Sayuuur.....!”ia pun melanjutkan dagangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H