[caption caption="Image: 7-themes.com"][/caption]Ku coba untuk melawan hati
Tapi hampa terasa di sini tanpamu
Bagiku semua sangat berarti lagi
Kuingin kau disini
Tepiskan sepiku bersamamu ...
Tak terasa air mata Ayu menitik. Lagu “Hingga Akhir Waktu” dari grup band Nineball yang mengalun lembut di dalam mobilnya menemaninya sepanjang perjalanan pulang dari kantor, menghanyutkannya pada sebuah kenangan sedih. Kenangan dua tahun yang lalu, saat ia mengambil sebuah keputusan pahit.
“Kita harus akhiri hubungan ini, Mas.”
Lelaki yang yang telah lima tahun menjadi kekasihnya itu tak menjawab. Matanya hanya memandang jauh pada matahari senja. Berusaha sembunyikan duka.
“Pada waktunya Mas Ahmad akan ngerti. Mas bisa mencari perempuan lain pengganti Ayu. Ayu cinta Mas, tapi Ayu harus pergi, Mas.” Suara Ayu tenggelam dalam isak tangisnya.
Lelaki yang dipanggil Mas Ahmad itu tak kuasa lagi membendung kesedihannya. Air mata pun mulai mengembang di kedua sudut matanya.
Dengan lirih sang kekasih berkata, “Yu, walau maut menyembunyikan jasad Mas ke dalam perut bumi, dan kesunyian abadi menyelimuti keabadianku, Mas tetap tak akan pernah bisa mengerti pada keputusanmu ini. Dan tak akan pernah ada yg lain di sisiku, Yu, karena hanya engkaulah yang Mas cintai dalam hidup ini. Jangan pergi.. Mas tak bisa hidup tanpamu, Yu...”
Lalu hening. Tak sepatah pun. Karena setiap kata akan menjadi bilah belati yang menyayat hati keduanya. Bahkan untuk mengucapkan kata perpisahan pun lidah mereka telah menjadi kelu.
Siapa yang bisa mengukur datangnya sang waktu memberi pengertian pada hati yang mencinta? Mencinta dengan penuh ketulusan. Bukankah sang waktu itu sendiri selalu berada dalam keabadianya? Dia adalah hari kemarin yang menjadi kenangan di hari ini, dan hari esok yang merupakan impian masa kini juga.
Mas bisa mencari perempuan lain pengganti Ayu.. Bahkan perempuan yang paling bijaksana pun mungkin tak akan sanggup mengucapkan kalimat ini. Membayangkan Mas Ahmadnya bersama perempuan lain, hufth.. Ayu tak pernah bisa, dan tak akan pernah bisa. Ia sadar, betapa ia sangat mencintai Mas Ahmad dan juga tak bisa hidup tanpa pujaan hatinya itu.
Dan bukankah sang waktu sebagaimana hakekat cinta tak mengenal batas ukuran, serta tak dapat dibagi?
Itulah kenangan dua tahun yang lalu, saat keduanya membisu dalam kepulangan sepanjang jalan Carita-Jakarta. Hanya bait-bait lagu yang bicara pada dua hati yang ditakdirkan untuk menyatu.
Tanpa terasa mobil sudah memasuki sebuah pelataran rumah. Ayu tak bersegera turun. Ia masih menikmati bait terakhir lagu. Membiarkan masakininya memeluk masa lampau dengan kenangan. Dan merangkul masa depan dengan kerinduan.
Tak `kan pernah ada yg lain disisi
Segenap jiwa hanya untukmu
Dan tak `kan mungkin ada yg lain disisi
Ku ingin kau disini tepiskan sepiku bersamamu
Hingga akhir waktu..
Seorang lelaki yang sedang menggendong bayi keluar dari pintu rumah, menyambutnya, “Eh, Mamah sudah pulang.”
Ayu memeluk lelak itu dengan erat seolah tidak ingin melepaskannya lagi. Berganti-ganti menciumi sang bayi dalam gendongan. Oh, betapa bersyukurnya hidupku memiliki kebahagiaan menua bersama orang yang kucintai ini, batin Ayu.
“Selamat ulang tahun, Mah. Papah cinta Mamah.”
Lelaki itu, dialah Mas Ahmad yang kini sudah setahun ini menjadi suaminya, dan telah dikaruniai seorang bayi yang baru genap berusia 6 bulan, Tasia.
Dan, mereka pun hidup bahagia, hingga akhir waktu...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI