Mohon tunggu...
Laura Irawati
Laura Irawati Mohon Tunggu... Direktur Piwku Kota Cilegon (www.piwku.com), CEO Jagur Communication (www.jagurtravel.com, www.jagurweb.com) -

Mother, with 4 kids. Just living is not enough... one must have sunshine, most persistent and urgent question is, 'What are you doing for others?' ;)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Presiden Minta Maaf Kepada PKI? Darah Itu Merah, Jenderal!

30 September 2015   09:20 Diperbarui: 30 September 2015   10:14 4145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang wanita mengambil silet yang terselip di dinding anyaman bambu. Disayatkannya silet itu pada wajah seseorang yang duduk terikat tak berdaya di hadapannya.

"Penderitaan itu pedih, Jenderal. Sekarang rasakan sayatan silet ini. Juga pedih! Tapi tidak sepedih penderitaan rakyat," ujar wanita itu dengan wajah bengis.

Lelaki yang dipanggil jenderal itu dihujani pukulan, disiksa hingga sekarat dan mati. Sementara iblis-iblis psikopat yang menyiksanya tak henti-henti tertawa kejam sambil menyanyikan lagu “Genjer-Genjer".

Masih ingat dengan adegan film di atas?

Ya, itu adalah cuplikan adegan yang diambil dari film “Pengkhianatan G30S/PKI” garapan Arifin C Noer. Arifin diakui telah sukses menciptakan trauma kolektif bagi jiwa-jiwa penontonnya, terutama anak-anak di zaman Orba. Sialnya, saya lah salah satu di antara anak-anak itu.

Selama masa Orde Baru di tahun 1980-an hingga menjelang Orde Baru runtuh, saban malam tanggal 30 September, kita hanya punya satu pilihan: menonton film itu! Pilihan lainnya, mematikan TV atau tidur lebih cepat.

Dinding anyaman bambu tempat menyelipkan pisau silet yang digunakan untuk menyiksa si jenderal divisualkan lengkap berikut detil irisan silet pada kulit dan daging. Ekspresi wajah bengis dan kejam para gerwani dibalik lagu “Genjer-Genjer” ditampakan bak para pemuja setan yang sedang melakukan ritualnya. Bertahun-tahun saya ‘dipaksa’ menyaksikan film horor itu hanya bisa memejamkan mata, tak kuat melihat kekejaman manusia yang dipertontonkan oleh si pembuat film.

Seperti layaknya film-film bergenre horor, ilustrasi musik dalam film itu memperkuat narasi gambarnya, yakni keheningan malam yang mencekam. Tidak menggedor jantung seperti film horor pada umumnya yang bisanya cuma bikin kaget, akan tetapi musik pada dalam film itu seperti mengiris jantung seiris demi seiris membuat kita ingin menutup mata dan telinga karena tak kuat lagi sudah jantung ini diiris-iris.

Dialog-dialog teatrikal dalam script Arifin bersama garapan musik Embie C. Noer menghadirkan rasa mencekam menggempur rasa takut penonton. Kehandalan Arifin dalam latar belakang teaternya tampak jelas lewat semua pengaturan blocking dalam adegan demi adegan. Dialog-dialog fenomenal seperti: “Darah Itu Merah, Jendral!”,Bukan main wanginya minyak wangi Jenderal, begitu harum sehingga mengalahkan amis darah sendiri!”, mampu menghadirkan kebencian meski pada hati seorang penyabar suci sekalipun.

Film berdurasi 4,5 jam ini dimulai dengan narasi detil yang nyaris sempurna dari gambaran situasi politik negara ini yang dilanda kekacauan saat itu. Dari adegan Presiden Soekarno yang tengah sakit keras, rapat-rapat Polit Biro PKI yang dihadirkan dengan atmosfer kelam, siaran radio yang tengah memberitakan keadaan politik dalam negri, wajah-wajah bopeng para petinggi PKI, asap rokok yang terus menerus mengepul, serta bergelas-gelas kopi hitam dan puntungan rokok di asbak.

Atmosfer mencekam itu kian mencapai puncaknya saat adegan mulai memasuki penculikan para jenderal. Suara mesin truck tentara yang berhenti, derap sepatu tentara Cakrabirawa PKI yang melompat turun bersenjata lengkap meneror kediaman dan keluarga para jenderal, semua hadir dengan penggarapan mendekati nyata. Bahkan beberapa adegan dramatikal seperti adegan putri Mayjen DI Panjaitan yang histeris membasuh mukanya dengan darah ayahnya berhasil mencuri kedukaan mendalam penonton yang semakin terhenyak miris.

Sewaktu saya masih kanak-kanak sampai remaja pun saya ketakutan dan trauma menonton film itu, dan sampai sekarang tak habis pikir: kok bisa sih film sesadis itu dipertontonkan 'secara paksa' bahkan kepada anak-anak di zaman itu?

Akhirnya, film yang ditengarai oleh banyak pihak sebagai film propaganda rezim Orba itu dihentikan tayang wajib di televisi mulai tahun 1998. Menteri Penerangan saat itu, Yunus Yosfiah mengatakan, pemutaran film yang bernuansa pengkultusan tokoh seperti: “Pengkhianatan G30S/PKI”, “Janur Kuning”, “Serangan Fajar” sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika reformasi. "Karena itu, tanggal 30 September mendatang TVRI dan TV swasta tidak akan menayangkan lagi film Pengkhianatan G30S/PKI," ujar Yunus seperti dikutip dari Kompas edisi 24 September 1998.

Nah, kembali kepada film “Pengkhianatan G30S/PKI” sebagai bagian sejarah kelam yang telah menciptakan trauma kolektif bangsa ini, saya tidak memahami sepenuhnya apakah kisah dalam   peristiwa itu sebagai propaganda rezim atau sejarah faktual. Saya hanya mencoba menyampaikan pesan: apakah trauma dibalik peristiwa kelam itu memiliki makna?

Yang pertama-tama harus disadari adalah bahwa di dalam hantaman peristiwa negatif traumatis pun, manusia selalu bisa mencari makna di baliknya. Viktor Frankl, seorang filsuf-psikolog, di dalam bukunya A Man Search for Meaning, berulang kali berbicara tentang makna sebuah penderitaan, nilai dan arti sebuah penderitaan, dan apa arti menderita secara bermakna.

Jika Frankl berbicara tentang makna sebuah trauma penderitaan manusia tidaklah sertamerta berarti bahwa penderitaan itu yang memiliki makna, melainkan sikap dan disposisi batin manusia terhadap penderitaan itulah yang memungkinkan terciptanya makna di tengah peristiwa negatif sekalipun. Penderitaan dan trauma akibat peristiwa negatif, jika dihadapi secara positif dan konstruktif, akan membuat jiwa seseorang menjadi matang tertempa. “Penderitaan,” demikian tulis Frankl, “membuat manusia visioner dan membuat dunia transparan …”

Kaitan dengan teori Frankl tersebut, menarik untuk menyimak pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo di sidang tahunan MPR/DPR (14/8) di Gedung DPR-RI. Presiden, yang sebelumnya diisukan akan meminta maaf kepada keluarga eks PKI dan diramalkan langkahnya itu akan menjadi blunder politik terbesar dan akan menciptakan konflik horizontal sepanjang jabatannya, justru dalam pidatonya malah menegaskan bahwa perbaikan ekonomi lah yang akan menjadi fokus pemerintahannya.

Transformasi ekonomi tak bisa berjalan tanpa dukungan dari politik luar negeri, pertahanan keamanan, penegakan hukum, dan penghargaan hak asasi manusia. Saat ini, menurutnya, pemerintah sedang berusaha mencari jalan keluar paling ‘bijaksana, berharga, dan mulia’ untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di tanah air.

Pemerintah, kata Jokowi, ingin ada rekonsiliasi nasional sehingga generasi mendatang tidak selalu memikul beban sejarah masa lalu sebagai upaya pemerintah untuk menegakkan kemanusiaan di Indonesia.

 

Sumber Foto: https://winnyradc.wordpress.com

http://www.lensaindonesia.com/2015/08/14/fakta-pidato-presiden-jokowi-tak-minta-maaf-keluarga-tragedi-pki-65.html?reftype=expired-cache-checker&nc=1&idr=366590642

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun