Sewaktu saya masih kanak-kanak sampai remaja pun saya ketakutan dan trauma menonton film itu, dan sampai sekarang tak habis pikir: kok bisa sih film sesadis itu dipertontonkan 'secara paksa' bahkan kepada anak-anak di zaman itu?
Akhirnya, film yang ditengarai oleh banyak pihak sebagai film propaganda rezim Orba itu dihentikan tayang wajib di televisi mulai tahun 1998. Menteri Penerangan saat itu, Yunus Yosfiah mengatakan, pemutaran film yang bernuansa pengkultusan tokoh seperti: “Pengkhianatan G30S/PKI”, “Janur Kuning”, “Serangan Fajar” sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika reformasi. "Karena itu, tanggal 30 September mendatang TVRI dan TV swasta tidak akan menayangkan lagi film Pengkhianatan G30S/PKI," ujar Yunus seperti dikutip dari Kompas edisi 24 September 1998.
Nah, kembali kepada film “Pengkhianatan G30S/PKI” sebagai bagian sejarah kelam yang telah menciptakan trauma kolektif bangsa ini, saya tidak memahami sepenuhnya apakah kisah dalam peristiwa itu sebagai propaganda rezim atau sejarah faktual. Saya hanya mencoba menyampaikan pesan: apakah trauma dibalik peristiwa kelam itu memiliki makna?
Yang pertama-tama harus disadari adalah bahwa di dalam hantaman peristiwa negatif traumatis pun, manusia selalu bisa mencari makna di baliknya. Viktor Frankl, seorang filsuf-psikolog, di dalam bukunya A Man Search for Meaning, berulang kali berbicara tentang makna sebuah penderitaan, nilai dan arti sebuah penderitaan, dan apa arti menderita secara bermakna.
Jika Frankl berbicara tentang makna sebuah trauma penderitaan manusia tidaklah sertamerta berarti bahwa penderitaan itu yang memiliki makna, melainkan sikap dan disposisi batin manusia terhadap penderitaan itulah yang memungkinkan terciptanya makna di tengah peristiwa negatif sekalipun. Penderitaan dan trauma akibat peristiwa negatif, jika dihadapi secara positif dan konstruktif, akan membuat jiwa seseorang menjadi matang tertempa. “Penderitaan,” demikian tulis Frankl, “membuat manusia visioner dan membuat dunia transparan …”
Kaitan dengan teori Frankl tersebut, menarik untuk menyimak pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo di sidang tahunan MPR/DPR (14/8) di Gedung DPR-RI. Presiden, yang sebelumnya diisukan akan meminta maaf kepada keluarga eks PKI dan diramalkan langkahnya itu akan menjadi blunder politik terbesar dan akan menciptakan konflik horizontal sepanjang jabatannya, justru dalam pidatonya malah menegaskan bahwa perbaikan ekonomi lah yang akan menjadi fokus pemerintahannya.
Transformasi ekonomi tak bisa berjalan tanpa dukungan dari politik luar negeri, pertahanan keamanan, penegakan hukum, dan penghargaan hak asasi manusia. Saat ini, menurutnya, pemerintah sedang berusaha mencari jalan keluar paling ‘bijaksana, berharga, dan mulia’ untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di tanah air.
Pemerintah, kata Jokowi, ingin ada rekonsiliasi nasional sehingga generasi mendatang tidak selalu memikul beban sejarah masa lalu sebagai upaya pemerintah untuk menegakkan kemanusiaan di Indonesia.
Sumber Foto: https://winnyradc.wordpress.com