Setiap saya mempublish artikel, orang yang pertama kasih vote dan komen adalah Pak Axtea 99. Awalnya sih saya geer, yess... artikel saya direspon sama kompasianer lain. Direspon berarti artikel saya bagus. Tapi sewaktu saya ngintip artikel orang, ternyata vote dan komen Pak Axtea ini juga nangkring di setiap artikel kompasianer lain. Betapa baik dan pemurahnya beliau ini, selalu bikin senang dan riang gembira hati orang lain.
Komen Pak Axtea selalu bernada positif. Dan, di akhir komennya, beliau tak pernah lupa menutup dengan ucapan ‘salam hangat’. Suuupeer sekali. Jujur, komen komen atau sapaan akrab seperti itu sangat berarti bagi newbie di kompasiana seperti saya ini. Komen maupun vote dari sahabat-sahabat kompasiner merupakan penghargaan tak ternilai, dan yang memotivasi saya juga untuk semakin rajin menulis. Kalaupun dikasih highlight sama admin yang budiman itu merupakan bonus bagi saya.
“Jangan pernah ragu untuk menyemangati mereka-mereka yang tengah mencoba untuk menulis, suatu saat nanti anda akan sadar, betapa berharganya semangat yang anda berikan itu untuk mereka.” Maaf, Mas Christian Kelvianto, refleksinya saya pinjem ya, untuk mengungkapkan betapa berterimakasihnya saya pada sosok Pak Axtea ini.
Hanya saja, Pak Axtea ini misterius banget. Profilnya aja gambar tokoh komik yang bawa-bawa kapak besar. Waduh, mau belah kayu, Pak? Hehe ... Hasil googling, saya hanya menemukan info sekelumit mengenai dirinya. Kakek tiga cucu berusia 65 tahun ini bergabung di kompasiana sejak 25 Juli 2013. Beliau tinggal di Jakarta. Pak Axtea ini juga ternyata terpilih -dari sekian ratus ribu kompasianer- diundang makan oleh presiden Jokowi. Woow ... ternyata orang baik yang bertopeng dan selalu bawa-bawa kapak besar ini sosok hebat. Sosok hebat nan rendah hati, yang mau meluangkan waktunya untuk menyemangati kami semua saban hari.
Walaupun santun di setiap artikel maupun komennya, beliau juga bisa bersikap garang untuk sesuatu yang dia anggap harus diluruskan. Misalkan ketika Jonru Ginting, salah seorang kader partai yang mengklaim partainya sebagai partai dakwah, mengatakan: gara-gara Jokowi mendarat di Jedah, crane jatuh di Masjidil Haram. Pesan yang ditangkap Pak Axtea dari pernyataan Jonru itu adalah, bahwa kedatangan Jokowi adalah pembawa sial; tidak diterima di tanah suci; ditegur Allah; bahkan Jokowi adalah jelmaan dajjal!
Ini fitnahan keji nan bodoh, tulis Pak Axtea. Bukankah keberadaan presiden itu bermakna positif, karena presiden bisa memantau dan memberikan pengarahan secara langsung di lapangan pasca tragedi musibah itu sehingga tidak membuat panik para jamaah haji dan keluarganya di tanah air.
Ulasan dalam artikel-artikel yang lainnya juga tak kalah menarik. Singkat, padat, langsung pada masalah, tapi tetap pada kesantunan dan kemisteriusannya. Pokoknya, memahami siapa Pak Axtea ini kita seperti digiring untuk memahami kepribadian tokoh superhero Batman aja. Kenapa dia harus bertopeng? Kita tahu siapa yang berada di balik topeng Batman, yakni si Bruce Wayne. Lantas, siapakah yang berada di balik topeng Axtea 99?
Bruce Wayne adalah seorang milyuner yang tinggal di Gotham City. Dulunya, Bruce seorang anak penakut dan selalu cemas. Pemicunya adalah trauma akibat kelelawar ketika Bruce kecil terperosok ke dalam sebuah gua di bawah rumahnya. Dalam suatu acara opera, kepanikan Bruce membuat ia dan orangtuanya pulang lebih awal lewat pintu belakang. Seperti yang kita tahu kemudian, seorang penodong menghadang mereka dan akhirnya membunuh suami-istri Wayne.
Anak-anak sering menganggap suatu peristiwa terjadi karena perbuatannya. Dalam banyak kasus perceraian misalnya, anak kerapkali merasa bersalah karena kedua orangtuanya bercerai meskipun sebenarnya bukan mereka yang menjadi penyebabnya. Sedang bagi Bruce, ketakutannya itulah penyebab kematian kedua orangtuanya, dan ini menyebabkan ia merasa begitu bertanggungjawab.
Bruce Wayne tumbuh menjadi seseorang yang insecure. Ia tak mampu menjalin hubungan lebih dekat dengan orang lain tanpa trauma kalau-kalau suatu saat orang terdekatnya itu akan direnggut darinya. Bruce pun memilih hidup menyendiri.
Pengalaman traumatis itu menumbuhkan rasa keadilan yang kuat dalam diri Bruce. Kematian orangtuanya membuat Bruce menemukan tujuan hidup: memerangi ketidakadilan. Dan dibalik topengnya ia mewujudkan tujuan itu. Kenapa ia memilih topeng kelelawar? Sama seperti dirinya yang takut kelelawar, ia ingin agar para penjahat yang menimbulkan rasa takut bagi masyarakat, juga ikut merasa takut terhadap manusia kelelawar.